Berdaulat.id, Aisyah binti Abu Bakar radhiallahu’anhumaa merupakan istri Rasulullah SAW yang paling banyak meriwayatkan hadits dan seorang ‘alimah (ulama wanita) paling berpengaruh sepanjang zaman. Tidak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai ibunda Peradaban Islam karena jasanya dalam fiqih-hadits, tafsir dan keilmuwan secara umum.
Harus diakui, pemahaman para shahabat dan tabi’in di masa lalu, dalam bidang-bidang tertentu, sangat bergantung dengan pemahaman Aisyah, sosok ustadzah yang mengajarkan mereka cara-cara memahami hadits serta ilmu keislaman secara umum.
Sayang beribu sayang, dalam budaya keilmuwan Islam di Tanah Air, ada kecenderungan jika berbicara tentang sosok Aisyah Ash-Shiddiqah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang terlintas dalam obrolan melulu hanya “nikah muda”, lantaran beliau merupakan istri Rasulullah yang paling muda; atau sifat rasa cemburunya yang demikian terkenal.
Sebagian kalangan hanya berkutat di pembahasan bahwa Aisyah itu pencemburu, atau bahkan hanya membesar-besarkan bahwa beliau adalah seorang yang mudah marah jika dilanda cemburu. Padahal sosok Aisyah jelas lebih agung daripada itu semua. Sosok yang tradisi keilmuwan Islam tidak mungkin berjalan seperti sekarang tanpa peran ibunda kita ini.
Aisyah termasuk pemeran utama pengembangan ilmu fiqih-hadits. Ketika para shahabat kesulitan memaknai suatu hadits, hampir dipastikan mereka akan mendatangi ‘teman sehidup-sesurganya’ Rasulullah ini. Perihal kefaqihannya dalam memahami Islam saat tinggi dan diakui para shahabat besar.
Tidak jarang Aisyah sampai mendebat para shahabat yang keliru dalam memaknai suatu sabda dan perbuatan Rasulullah. Maklum, Aisyah adalah sosok yang sangat dicintai baginda, ditambah lagi Aisyah yang mengetahui perihal baginda sampai diurusan kamar dan rumah tangga. Hal yang tidak mungkin digapai shahabat Nabi secara umum.
Akan tetapi, rasanya tidak banyak yang tahu bahwa beliau juga seorang ahli pengobatan yang handal.
Aisyah merupakan guru madrasah peradaban dari rumahnya. Beliau ini yang mengajarkan para sahabat dan tabi’in tentang hadits-hadits rumah tangga serta menjawab problem sosial yang memang beliau ketahui konteksnya.
Aisyah merupakan seorang yang ahli racik pengobatan khas berbagai daerah.
Aisyah merupakan seorang yang ‘aqilah. Beliau yang menjadikan tradisi keilmuwan para Muslimah terus berlanjut.
Pembagian yang sama antar ummahatul mukminin dan Mariyah Al-Qibthiyah. Sehingga kaum koptik merasa punya kedekatan dan perwakilan yang dihormati kaum Muslimin di zaman khulafaurasyidin.
Beliau mengajarkan, apabila suami mau marah maka alihkan topiknya ke sesuatu yang juga bermanfaat dan penting
Urwah berkata, “Aku tidak pernah melihat manusia yang lebih tahu tentang pengobatan melebihi Aisyah.”
Pada suatu Ketika Urwah bin Zubair bertanya dengan penuh kekaguman terhadap wawasan Ummul Mu’minin Aisyah di bidang pengobatan. Urwah bertanya, “Wahai ibu, saya tidak heran dengan kecerdasanmu dalam bidang agama, karena engkau istri Rasulullah dan anak Abu Bakar, dan saya tidak heran dengan pengetahuanmu di bidang syair dan sejarah, karena engkau anak Abu Bakar, orang paling berilmu di antara para ulama, namun saya kagum dengan ilmumu di bidang pengobatan. Bagaimana bisa, dan dari mana engkau mendapatkannya?”
Maka Aisyah menepuk bahuku dan berkata, “Wahai Urwah, sesungguhnya saat Rasulullah sakit di akhir umurnya ada beberapa utusan orang-orang Arab dari berbagai daerah yang datang kepada beliau untuk mengobatinya, dan saya membantu mereka mengobati beliau, maka dari situlah aku meraih (ilmu)-nya.” (HR Ahmad dan Al-Hakim)
Aisyah pengamat yang handal, mengamati sesuatu yang bermanfaat dan berguna di kemudian hari. Ia mengamati dan mempraktikkannya. Di antara
Aisyah adalah salah satu sahabah yang paling banyak meriwayatkan hadits serta memiliki kefaqihan mumpuni. Istri Rasulullah yang paling muda ini termasuk dalam As-Sabiqun Al-Awwalun: sahabat yang sejak awal memeluk Islam, atau menurut definisi yang valid ialah para sahabat Rasulullah SAW yang sempat shalat menghadap dua kiblat (sebelum Perang Badar), sebagaimana yang didefinisikan para ulama tabi’in dari Sa’id bin Musayyib, Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin hingga Qatadah. Hal itu tertuang di dalam kitab Jami’ Al-Bayan Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir.
Di antara karakteristik yang pasti ada dalam diri sahabat yang tergolong As-Sabiqun Al-Awwalun dari visioner, mapan dan matang di usia muda, pencinta ilmu hingga haus akan perubahan semuanya tersimpan di dalam diri Aisyah.
Aisyah menikah dengan Rasulullah SAW di usia enam tahun akan tetapi baru di usia sembilan tahun hidup bersama beliau Rasulullah sebagaimana riwayat populer.
Tentu saja wanita sembilan tahun dari kalangan sahabat Rasul jauh berbeda dengan gambaran wanita saat ini, usia sembilan tahun Aisyah sudah memiliki ketinggian jiwa, sikap dan fisik yang lebih dari umumnya wanita usia sembilan tahun di masa modern.
Tetapi hal yang akan ditekankan dalam tulisan ini ialah kebiasaan Aisyah yang lebih banyak di rumah layaknya figur muslimah-muslimah ideal. Namun demikian, apa yang ditinggalkan dan dicapai oleh orang yang paling dicintai Rasulullah SAW ini jauh melebihi wanita modern yang gemar aktivitas di luar rumah.
Aisyah merupakan sosok yang banyak para sahabat Rasulullah bertanya kepadanya, menjadi ustadzah yang mencetak banyak ulama tabiin baik ulama pria dan wanita. Ternyata banyaknya beliau di dalam rumah tidak menghalangi produktifitas keilmuwannya yang sangat luar biasa. Beliau selalu menjadi rujukan para ulama dan khalifah di masa beliau hidup maupun masa sesudahnya.
Di masa para sahabat masih banyak yang hidup pun sosok Aisyah sering kali menjadi gudang ilmu, bukan melulu masalah rumah tangga dan kekeluargaan, melainkan juga masalah-masalah kenegaraan serta problematika umat. Maka figur Aisyah ini sudah sepatutnya dijadikan teladan bagi setiap insan di dunia, khususnya para wanita.
Bandingkanlah figur Aisyah dengan banyak wanita modern yang ‘ruang geraknya’ dianggap lebih banyak dan ‘lebih luas’ tetapi pada kenyataannya tidak produktif, kurang bermanfaat bagi umat dan tidak bisa menjadi teladan yang dibanggakan sebuah peradaban. Ternyata, tudingan negatif kaum sekular dan liberal yang menganggap Islam mengekang kebebasan ‘gerak’ wanita jauh panggang dari api jika melihat figur Aisyah.
Buktinya sosok Aisyah sebagai muslimah ideal dan banyak beraktivitas di rumah bisa lebih bermanfaat serta berpengaruh bagi perkembangan sebuah peradaban daripada figur-figur wanita modern.
*Ilham Martasya’bana, penggiat sejarah Islam, repost 2021