Berdaulat.id, Kisah ‘Ammul Hazn atau Tahun Duka Cita dalam sirah nabawiyah, seringkali difokuskan pada ketabahan maupun kesabaran dalam perjuangan Nabi. Akan tetapi tidak boleh dilupakan, bahwa momentum wafatnya Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah dan juga paman beliau Abu Thalib, merupakan momentum perubahan dalam perjuangan dakwah Rasulullah.
Dari sebelumnya memiliki pelindung dakwah dari kalangan keluarga besar Bani Hasyim, khususnya oleh Abu Thalib, kemudian mencari basis dakwah atau wilayah aman untuk pusat dakwah, serta pusat penerapan syariat Islam.
Momentum perubahan yang terjadi pada tahun 10 kenabian (bi’tsah) ini setidaknya bisa dilihat dari beberapa sisi:
1) Rasulullahﷺ mulai mencari wilayah aman sebagai basis dakwah untuk menegakkan agama Allah, serta mencari pelindung dalam dakwah. Maka itu Rasulullahﷺ berdakwah ke Thaif, mencari wilayah yang bisa mendukung beliau.
Dalam hal ini yang ditekankan bukan hanya mencari perlindungan dan kekuasaan untuk kaum Muslimin tetapi juga tujuan pokoknya: menegakkan Islam secara kaffah.
Wilayah untuk basis dakwah awalnya agar seluruh hukum Islam bisa ditegakkan secara kaffah. Selain itu, bisa menjadi role model peradaban manusia dalam membangun peradaban wahyu.
Islam tidak akan kemana-mana jika dahulu Rasulullah dan para shahabat hanya mendiskusikannya sebagai konsep. Islam itu wajib terealisasi seluruh ajarannya dalam kehidupan nyata. Maka pembelajaran Islam dari segi apa pun jika tanpa praktik, sesungguhnya laksana omong kosong belaka.
Contohnya, ketika kita sedang belajar teori fiqih shalat, akan percuma dan sia-sia belaka jika tanpa dipraktikan sesegera mungkin dalam praktik shalat kita. Kita belajar cara thaharah semisal fiqih wudhu, kita pelajari habis-habisan tartib wudhu, namun pas hendak shalat tidak kita praktikan, maka pembelajaran tadi tak lebih dari omong kosong saja.
2) Seandainya Abu Thalib berusia panjang, maka akan terkesan Islam sendiri berdiri tegak karena perlindungan orang yang tidak beriman. Oleh karena itu Allah menakdirkan bahwa Nabi harus mencari dukungan ke orang-orang beriman yang memang punya kekuatan politik dan militer.
Wafatnya Abu Thalib menegaskan bahwa dukungan dan perlindungan harus datang dari mereka yang bertauhid. Mereka yanh punya komitmen dengan Allah dan RasulNya.
3) Awalnya, dalam fase dakwah di Makkah, Rasulullahﷺ menyadari bahwa permusuhan terhadap Islam, faktanya hanya dilakukan sekelompok elit Quraisy (al-mala). Oleh karena itulah Rasulullahﷺ berusaha agar masyarakat awam tidak turut campur memusuhi dakwah, sambil konsisten memperlihatkan keagungan-keagungan ajaran Islam.
Fase seperti ini berakhir di momentum tahun duka cita, lantaran Abu Thalib sebagai pimpinan Bani Hasyim telah menemui ajalnya. Beliau pun mengubah metode berdakwahnya, bahwa Islam harus meraih kekuatan dan kekuasaan karena syariatNya yang agung harus ditampakkan secara menyeluruh. Untuk memperlihatkan keindahan dan keadilan agama Allah terhadap seluruh manusia.
Pada fase dakwah di Makkah, keluarga Rasulullahﷺ, Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib mayoritas tidak beriman. Tetapi mereka membela beliau lantaran hubungan keluarga, ini adalah tradisi sosial dan budaya masyarakat Quraisy. Rasulullahﷺ banyak memanfaatkan tradisi dan budaya untuk memperkuat dakwah Islam, selama tidak bertentangan dengan nilai dan tujuan Islam.
Metode ini berubah pasca momen wafatnya Abu Thalib, bahwa politik dan kekuasaan untuk mendukung agama Allah memang diperlukan.
Dahulu, di masa dakwah sirriyah dan jahriyah, fase Makkah, selama 13 tahun tersebut meski wilayah basis dakwah Islam belum ada, namun sistem kejama’ahan sudah ada.
Maka berjama’ah dalam soal haroki perjuangan merupakan hal yang paling awal harus dilakukan. Rasulullah bersabda, “Aku perintahkan kepada kalian lima perkara, sebagaimana Allah telah memerintahkanku dengan lima perkara itu, berjama’ah, mendengar, taat, hijrah dan jihad fii sabilillah.” (HR Tirmidzi dan Ahmad).
Dengan sistem berjama’ah bukan hanya sekedar kumpul sama-sama saat tugas dakwah, namun lebih dari itu menegakkan agama Allah dalam bingkai ukhuwah yang terorganisir.
Shahabat-shahabat yang kaya saat itu punya tugas membebaskan budak, terutama yang memang dikenal sebagai tokoh masyarakat dan kaya, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai shahabat mulia yang terbanyak membebaskan mualaf dari kalangan budak, juga tidak ketinggal Utsman bin Affan.
Setiap ada kesempatan beramal shalih yang berhubungan dengan jama’ah, yang bisa menggunakan sumber daya harta, baik Abu Bakar maupun Utsman merupakan teladan terbaik. Padahal saat itu jihad dengan senjata maupun fisik belum ada syariatnya.
Mereka dari kaum dhuafa, budak dan lemah diharuskan menyembunyikan keislamannya. Oleh sebab, gangguan dan intimidasi kaum kafir Quraisy. Sambil menuntut ilmu dan menambah pemahaman Islam dengan cara diam-diam nan rahasia, orang-orang seperti Abu Dzar Al-Ghifari diperintahkan kembali kepada kaumnya, dengan menyembunyikan keislamannya.
Disarankan kembali kepada barisan ummat setelah Islam kuat. Oleh karena itu, sebenarnya penting dalam fase ini untuk memahami pribadi dan peran para shahabat demi menguatkan peran dalam ummat.
4) Rasulullahﷺ tahu meskipun sebagian shahabat sudah hidup aman dan dapat beribadah dengan tenang di wilayah kekuasaan An-Najasy, akan tetapi hal itu belum bisa menjadikan Islam ditegakkan secara kaffah.
Kita lihat Rasulullahﷺ pernah memanfaatkan budaya dan adat-istiadat untuk melindungi dakwah asalkan tidak mengorbankan visi dan misi Islam. Seperti meminta perlindungan kepada Abu Thalib, lalu Muth’im bin Adi dari Bani Muthalib bin Abdu Manaf pasca peristiwa di Thaif. Lalu pernah pula Rasulullahﷺ memerintahkan kaum Muslimin berhijrah ke Habasyah, lantaran raja Nasrani di sana, An-Najasyi komitmen dengan sikap adil.
Ja’far bin Abi Thalib dan yang lainnya, mungkin bisa beribadah dengan tenang, akan tetapi itu semua tidak menjadi Rasulullahﷺ berhenti mencari basis dakwah. Beliau amat memahami bahwa salah satu komponen tauhid yang murni adalah menegakkan syariat dan hukumnya di seluruh aspek kehidupan, bukan sekedar bisa beribadah mahdhah saja kendati itu di wilayah yang memang sangat melindungi kaum Muslimin.
Garis pemisah itu semua adalah pasca ‘Amm Al Hazn, yang sering luput dari kita, khususnya dalam hal wafatnya Abu Thalib. Seakan menyatakan bahwa ibadah spiritual (mahdhah), keamanan, dan perlindungan dakwah oleh keluarga besar tidaklah cukup untuk mengejewantahkan firmanNya: “Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah” (QS Adz-Dzariyat: 56).
Beliau ubah arah dakwah. Menuju wilayah basis dakwah yang bisa menerapkan Islam secara menyeluruh, supaya seluruh ummat manusia bisa merasakan keadilan dan rahmatan lil ‘alamin-nya agama Allah.
*Ilham Martasya’bana, penggiat sejarah Islam, repost Januari 2020