Dalam wawancara eksklusif di acara Mata Najwa, Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, membuka tabir drama politik yang mengiringi pencalonannya dalam Pilkada Jakarta dan Jawa Barat. Wawancara ini mengungkapkan berbagai dinamika politik yang melibatkan sejumlah partai besar, termasuk Nasdem, PKB, PKS, dan PDI Perjuangan, serta memberikan gambaran tentang tantangan demokrasi di Indonesia.
Proses Pencalonan yang Rumit
Anies Baswedan memulai wawancara dengan menjelaskan bagaimana namanya diusulkan oleh empat partai, yaitu Nasdem, PKB, PKS, dan PDI Perjuangan, sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Namun, perjalanan politik ini tidak berjalan mulus. Anies mengungkapkan bahwa partai-partai tersebut kemudian menarik dukungannya akibat perubahan dinamika koalisi politik. Misalnya, PDI Perjuangan, yang pada awalnya turut mengusulkan Anies, akhirnya tidak melanjutkan pencalonan karena alasan yang berkaitan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Proses ini diperumit dengan perubahan aturan politik yang tiba-tiba, seperti keharusan dukungan minimal 7,5% suara setelah keputusan MK. Anies juga mengonfirmasi bahwa komunikasi dengan PDI Perjuangan terjadi pasca keputusan MK, namun ia menekankan bahwa pembicaraan dengan PDI Perjuangan terjadi setelah ia tidak lagi diusung oleh tiga partai lainnya.
Komunikasi Intens dengan PDI Perjuangan
Dalam diskusi tersebut, Anies mengakui bahwa komunikasi dengan PDI Perjuangan mencapai tahap yang cukup serius, bahkan hampir masuk ke fase final. Anies menceritakan pertemuannya dengan petinggi PDI Perjuangan seperti Ahmad Basarah dan Rano Karno. Pada pertemuan tersebut, Anies mendapatkan informasi bahwa pencalonannya oleh PDI Perjuangan sangat mungkin, namun proses tersebut terganjal oleh perkembangan politik yang muncul setelahnya, termasuk isu-isu hukum yang disebut sebagai “cases” oleh Anies.
Anies juga menekankan bahwa dalam seluruh proses komunikasi dengan PDI Perjuangan, ia tidak dalam status diusung oleh partai mana pun, memastikan bahwa tidak ada konflik kepentingan ketika berkomunikasi dengan PDI Perjuangan. Meskipun proses tersebut berlangsung serius, akhirnya Anies tidak dicalonkan oleh PDI Perjuangan untuk Pilkada DKI Jakarta maupun Jawa Barat.
Penolakan Maju di Pilkada Jawa Barat
Ketika ditanya mengenai kemungkinan pencalonan di Pilkada Jawa Barat, Anies dengan tegas menolak. Alasan utama yang disampaikan adalah kurangnya aspirasi dari masyarakat Jawa Barat untuk dirinya maju sebagai calon gubernur. Anies mengungkapkan bahwa di Jakarta, dukungannya datang dari aspirasi nyata warga dan empat partai yang mengusulkan, berbeda dengan situasi di Jawa Barat yang tidak menunjukkan adanya permintaan serupa.
Anies juga menceritakan bahwa ia dihampiri oleh perwakilan dari pihak tertentu yang ingin mengusungnya di Jawa Barat, namun ia tetap pada keputusannya untuk tidak maju. Anies merasa bahwa pencalonan tanpa aspirasi rakyat hanyalah sebuah “calon drop-dropan” yang tidak sesuai dengan prinsip politiknya.
Tantangan Demokrasi dan Tangan-Tangan Luar
Wawancara ini juga menyingkap sisi lain dari realitas politik Indonesia, di mana Anies menyebut adanya “tangan-tangan luar” yang mempengaruhi proses pencalonan di berbagai daerah, termasuk di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Anies menyoroti fenomena calon tunggal dan banyaknya daerah yang hanya memiliki kotak kosong dalam Pilkada. Menurutnya, ini adalah indikasi bahwa kedaulatan partai politik telah tergerus oleh intervensi kekuasaan, yang pada akhirnya menghilangkan pilihan rakyat.
Anies menjelaskan bahwa intervensi semacam ini tidak hanya mengancam kedaulatan partai politik tetapi juga kesehatan demokrasi di Indonesia. Ia mempertanyakan mengapa partai politik yang seharusnya memiliki kebebasan untuk mencalonkan pemimpin justru sering kali dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal yang tidak sehat.
Kekecewaan dan Beban Moral
Salah satu bagian emosional dari wawancara ini adalah ketika Anies menceritakan beban moral yang ia rasakan karena tidak dapat membawa aspirasi rakyat miskin kota dalam proses politik ini. Ia menyampaikan rasa kecewa yang mendalam karena tidak mampu melanjutkan perjuangan untuk masyarakat miskin kota yang selama ini mendukungnya. Anies menegaskan bahwa penyesalan terbesarnya bukan karena tidak bisa maju sebagai calon, tetapi karena tidak dapat memperjuangkan aspirasi rakyat kecil yang telah menaruh harapan padanya.
Ia mengingatkan bahwa proses politik seharusnya mencerminkan aspirasi rakyat dan bukan semata-mata hasil dari kesepakatan elit politik yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.
Masa Depan Politik Anies Baswedan
Di akhir wawancara, Najwa Shihab bertanya tentang kemungkinan Anies mendirikan partai politik baru sebagai respon dari situasi politik yang ia hadapi. Anies menjawab bahwa ia tidak menutup opsi untuk membentuk organisasi massa atau partai politik baru, namun ia akan mempertimbangkan hal ini dengan sangat hati-hati. Menurutnya, pembentukan partai politik bukanlah keputusan yang diambil berdasarkan euforia sesaat, tetapi memerlukan kajian mendalam dan persiapan matang.
Anies juga menggarisbawahi bahwa meskipun pembentukan partai politik baru akan menghadapi tantangan besar, ia tetap berkomitmen untuk memperjuangkan aspirasi perubahan yang didukung oleh lebih dari 40 juta rakyat Indonesia pada Pilpres yang lalu.