Pada November 2024, sebuah lembaga baru bernama Danantara mulai mencuat ke permukaan publik sebagai bagian dari rencana besar pemerintah untuk mereformasi pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Awalnya, Danantara direncanakan untuk menggantikan peran Kementerian BUMN secara keseluruhan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, ide ini mengalami banyak penyesuaian yang melibatkan tarik ulur politik antara berbagai pihak, termasuk DPR, kementerian terkait, hingga elit politik tingkat tinggi seperti Menteri BUMN Erick Thohir dan Wakil Presiden Prabowo Subianto.
Podcast YouTube dari Tempo yang membahas topik ini memberikan wawasan mendalam tentang proses legislasi cepat yang menjadi landasan pembentukan Danantara. Dalam podcast tersebut, narasumber menyebutkan bahwa revisi Undang-Undang (UU) BUMN dilakukan hanya dalam tiga hari, sebuah rekor yang menunjukkan urgensi serta intensitas pertarungan kepentingan di balik layar. Podcast ini juga mengungkap bagaimana Erick Thohir, meskipun bukan bagian dari lingkaran dekat Prabowo, tetap mempertahankan posisinya sebagai Menteri BUMN dengan bantuan jalan tengah yang disepakati bersama.
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan secara rinci apa itu Danantara, bagaimana ia dibentuk, dan implikasinya bagi masa depan pengelolaan BUMN di Indonesia. Dengan pendekatan bahasa yang mudah dimengerti dan enak dibaca, artikel ini akan membahas kronologi peristiwa, dinamika politik, serta dampak regulasi baru terhadap struktur organisasi BUMN. Pembaca akan diajak untuk memahami konteks lengkap dari fenomena ini, termasuk latar belakang konflik, solusi kompromi, dan proyeksi ke depan.
Apa Itu Danantara?
Sebelum masuk lebih jauh ke dalam diskusi, penting untuk memahami apa sebenarnya Danantara itu. Secara sederhana, Danantara adalah lembaga baru yang didirikan pemerintah untuk mengelola portofolio investasi BUMN strategis. Tujuan utamanya adalah meningkatkan efisiensi dan profesionalisme dalam pengelolaan aset negara, terutama yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti Pertamina, PLN, Telkom, dan lain-lain.
Namun, konsep awal Danantara jauh lebih ambisius daripada sekadar menjadi pengelola aset. Pada tahap awal pembahasannya, Danantara dirancang untuk sepenuhnya menggantikan fungsi Kementerian BUMN. Artinya, seluruh tanggung jawab pengelolaan BUMN—mulai dari penetapan kebijakan hingga pengangkatan direksi dan komisaris—akan dipindahkan ke Danantara. Ide ini lahir dari visi Prabowo Subianto, yang ingin menciptakan entitas super holding mirip dengan Temasek Holdings di Singapura atau Khazanah Nasional di Malaysia.
Sayangnya, rencana ini tidak berjalan mulus. Sejumlah tantangan muncul, baik dari segi legalitas maupun resistensi internal. Salah satu alasan utamanya adalah adanya kekhawatiran bahwa Danantara akan menjadi “super power” tanpa mekanisme pengawasan yang memadai. Untuk mengatasi hal ini, UU BUMN direvisi sehingga Kementerian BUMN tetap ada, namun dengan fungsinya yang lebih difokuskan pada pengawasan dan regulasi.
Proses Legislasi Cepat: Revisi UU BUMN dalam Tiga Hari
Salah satu momen paling dramatis dalam pembentukan Danantara adalah proses revisi UU BUMN yang hanya memakan waktu tiga hari saja. Menurut narasumber dalam podcast Tempo, langkah ini merupakan hasil dorongan langsung dari Prabowo Subianto, yang memandang reformasi BUMN sebagai prioritas utama pemerintahannya.
Proses revisi dimulai pada akhir Januari 2025, ketika Komisi VI DPR menggelar rapat bersama para pakar dan pemangku kepentingan. Dalam rapat tersebut, beberapa isu krusial muncul ke permukaan, salah satunya adalah soal distribusi kewenangan antara Danantara dan Kementerian BUMN. Awalnya, Danantara diberi otoritas penuh atas pengelolaan BUMN, sementara Kementerian BUMN hanya bertindak sebagai regulator administratif tanpa “gigi”. Namun, setelah serangkaian diskusi informal yang melibatkan Wakil Menteri BUMN seperti Doni Oskaria dan anggota DPR, muncul usulan agar Kementerian BUMN tetap memiliki peran signifikan dalam pengambilan keputusan, khususnya terkait pengangkatan direksi dan komisaris.
Hasil akhir dari revisi UU BUMN mencerminkan kompromi politik. Di satu sisi, Danantara tetap menjadi pengelola utama aset BUMN, terutama yang berskala besar dan strategis. Di sisi lain, Kementerian BUMN mendapatkan kembali sebagian kewenangannya, termasuk hak untuk menunjuk direksi dan komisaris atas persetujuan presiden. Selain itu, Kementerian Keuangan yang sebelumnya memiliki kontrol signifikan atas BUMN melalui dividen dan penyertaan modal negara (PMN), kini kehilangan sebagian besar kewenangannya.
Dinamika Politik di Balik Layar
Kehadiran Danantara tidak hanya melibatkan perubahan struktural dalam pengelolaan BUMN, tetapi juga mencerminkan dinamika politik yang kompleks. Salah satu tokoh sentral dalam cerita ini adalah Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia yang ditunjuk oleh Prabowo untuk memimpin tim transisi ekonomi. Burhanuddin adalah arsitek utama gagasan Danantara, dan ia sempat merencanakan agar lembaga ini sepenuhnya independen dari Kementerian BUMN.
Namun, Erick Thohir, yang sejak awal merasa terancam dengan hilangnya kewenangan Kementerian BUMN, melakukan manuver politik untuk mempertahankan posisinya. Melalui lobi-lobi intensif dengan DPR dan bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Erick berhasil memastikan bahwa Kementerian BUMN tetap relevan dalam struktur baru. Salah satu titik balik dalam dinamika ini adalah pertemuan antara Erick, Burhanuddin, dan Mulyaman Hadad—calon awal kepala Danantara—di acara peluncuran Burhanuddin Abdullah Center. Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak sepakat untuk bekerja sama demi kepentingan bersama.
Selain itu, peran Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR dari Partai Gerindra, juga patut dicatat. Dasco bertindak sebagai mediator antara Prabowo dan Erick, memastikan bahwa semua pihak mendapatkan bagian yang adil dalam skema baru. Hasilnya adalah sebuah sistem yang memungkinkan konsolidasi kekuasaan di tangan presiden, sementara masing-masing institusi tetap memiliki ruang untuk beroperasi secara efektif.
Struktur Baru Pengelolaan BUMN
Setelah revisi UU BUMN disahkan, struktur pengelolaan BUMN mengalami perubahan signifikan. Berikut adalah gambaran umum struktur baru tersebut:
- Danantara: Bertindak sebagai pengelola utama aset BUMN strategis. Fungsinya mencakup pengelolaan portofolio investasi, optimalisasi aset, serta pengambilan keputusan bisnis.
- Kementerian BUMN: Tetap ada, namun dengan fokus pada pengawasan dan regulasi. Salah satu kewenangan pentingnya adalah menunjuk direksi dan komisaris BUMN atas persetujuan presiden.
- Dewan Pengawas: Lembaga baru yang dibentuk untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan BUMN. Dewan ini akan diketuai oleh figur-figur senior, termasuk mantan presiden.
- Kementerian Keuangan: Meski kehilangan sebagian besar kewenangannya, kementerian ini masih memiliki peran dalam kasus-kasus tertentu, seperti penyelamatan BUMN yang mengalami kerugian besar.
Struktur baru ini dirancang untuk menghindari monopoli kekuasaan sekaligus meningkatkan efisiensi operasional. Namun, implementasinya tetap membutuhkan koordinasi yang baik antara semua pihak terlibat.
Beberapa nama telah disebut-sebut sebagai calon pemimpin Danantara, termasuk Rosan Perkasa Roeslani, mantan Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Sandiaga Uno. Rosan dipilih karena rekam jejaknya dalam mengelola aset dan hubungan dekatnya dengan Prabowo. Selain itu, Pandu Patria Sjahrir dan Doni Oskaria juga disebut-sebut akan memegang posisi strategis dalam struktur baru ini.