Oleh: Yons Achmad(Praktisi Komunikasi, tinggal Depok)
Berdaulat.id, Asyik dan lucu juga ikuti “Perang Wacana” antara Rocky Gerung dan Hotman Paris. Semua orang tahu, Rocky dengan “Wacana” filsafatnya, sedang Hotman Paris dengan “Berlian” di jarinya. Bagi Hotman, performa Rocky hanya “Wacana”, hanya omon-omon saja. Masih menurut Hotman, justru dia yang gunakan otaknya sehingga bisa kaya raya seperti sekarang. Saya tak akan lanjutkan cerita Rocky Vs Hotman ini. Saya justru tergelitik, benarkah wacana itu “hanya”? Benarkah wacana itu “Cuma”? Kita kupas pelan-pelan.
Kita mulai dari pertanyaan sederhana. Apa yang bisa menggerakan manusia? Jawabnya tentu hanya dua saja. Materi dan imateri. Di zaman yang serba pamrih sekarang, uang bisa menggerakkan seseorang. Sebut saja itu materi. Banyak orang berpandangan, uang memang bukan segala-galanya. Tapi, untuk mendapatkan segalanya perlu uang. Hasilnya, banyak orang menjadi rela jadi “Budak”, padahal sadar betul kelakuan “majikannya”. Kenapa orang melakukan? Uang menjadi motifnya untuk tetap “bergerak”
Apakah ini salah? Saya tak sedang bicara benar atau salah. Tapi sedang berbagi perspektif saja. Kalau ada pertanyaan balik, memangnya, tanpa uang, apa manusia bisa digerakkan? Tenang. Tentu saja bisa. Dengan apa? Tepat, imateri. Nah, imateri itu apa? Ini yang akan kita telisik lebih dalam. Saya akan mengawalinya dengan bangkitkan kembali ingatan dengan apa yang disebut perspektif “Communication as discourse”.
Sebelum ke sana, mengutip Prof. Ibnu Hammad dalam buku “Komunikasi Sebagai Wacana”, dirasakan atau tidak, sebagian besar-kalau tidak dikatakan seluruhnya- ketika kita berkomunikasi, sesungguhnya kita sedang membangun wacana (discourse). Sebuah tindakan kita menggunakan bahasa tetapi memasukkan unsur-unsur non bahasa. Di sini, kita tidak lagi sekadar berkata atau menulis ketika menyampaikan pesan. Kita, menambahkan usur-unsur non bahasa, entah itu kepentingan pribadi, ekonomi, politik ataupun ideologi ke dalam bahasa.
Dengan begitu, diakui atau tidak, kita memakai wacana karena kita ingin memperjuangkan kepentingan-kepentingan kita itu. Para praktisi komunikasi, menggunakannya secara sistematis dan terencana. Di mana, dalam berwacana, kita membuat strategi untuk mengolah bahasa yang ingin digunakan (strategi signing), memilih fakta yang akan dikemukakan (strategi framing) dan juga mengatur waktu yang tepat dalam penyampaian (strategi priming). Memastikan ketiga strategi wacana itu efektif sesuai yang kita harapkan. Khusus soal strategi ini, akan saya bahas dilain waktu.
Tapi, kenyataan yang tak bisa kita elakkan. Seringkali, sadar atau tidak sadar, banyak orang yang sering komentar “Ah cuman teori, ah hanya bisa berwacana”. Kenapa? Biasanya mereka yang berkomentar ini memiliki beberapa kemungkinan: kurang sabar, tidak mau berpikir elaboratif (detail/ terperinci), atau merasa tidak ada kepentingan bagi dirinya. Biasanya, yang terakhir ini cukup menyita perhatian. Serumit apapun isu atau bahasan, ketika dia merasa punya kepentingan, mereka akan tetap mengikuti. Inilah ego manusia. Tapi, kalau tidak, biasanya memang akan enteng bilang, misalnya “Alah cuma wacana, alah hanya wacana”.
Bagi yang paham dunia komunikasi, tentu, tak bakal memandang remeh apa yang orang sering bilang “wacana” ini. Kenapa? Ya, Ilmu Komunikasi sendiri sering terlibat dan bahkan boleh dibilang seni memainkan wacana (the practical art of discourse). Orang sering memandang komunikasi sebatas misalnya skill (keterampilan) semata, bisa dipelajari dengan mudah. Sebatas memandang misalnya dalam perspektif transmisionis, di mana hal ini memang dikenal dan paling dasar dalam ilmu komunikasi. Menekankan sebatas pada pengiriman pesan dari sumber ke penerima melalui saluran tertentu dengan suatu efek. Padahal, ada perspektif lain, misalnya menciptakan makna (generating or meaning). Ia bertujuan menghadirkan makna tertentu dibenak khalayak. Maksud seseorang berkomunikasi bukan sekadar mengirim pesan semata, tapi lebih esensial, hendak menanamkan makna tertentu dalam pikiran penerima. Karena itu, ya pasti ada teori, konsep dan strateginya.
Lewat, pemahaman wacana ini, saya sebenarnya ingin mengajak siapapun untuk tidak berkecil hati. Orang-orang berduit, punya uang memang bisa menggerakkan orang. Hanya saja, bagi mereka yang kebetulan belum berkesempatan untuk punya itu semua, wacana menjadi semacam “alat” yang bisa menggerakkan. Tak melulu melalui uang (materi) semata. Bahkan, dalam sejarah Islam, Rasulullah sendiri bisa menggerakkan manusia lebih banyak dengan wacana, dengan narasi-narasi yang menggerakkan. Bukan karena uang (materi) bukan?
Dari sini, kita menjadi paham. Nyatalah bahwa hidup itu ternyata adalah berwacana juga, “Life is discourse”. Dalam kehidupan, kita ternyata selalu berwacana untuk mencapai apa yang kita inginkan. Tentu, di sini, kita menolak apa yang orang sebut dengan istilah “NATO” (No Action Talks Only). Kenapa? Karena ini tak sesuai dengan kharakter komunikasi sebagai wacana. Semua pesan lisan (talk), tulisan (teks), pesan kegiatan (act) dan jejak (artefact). Semuanya tak berdiri sendiri, tapi mesti bersinergi capai amanat dalam wacana yang ingin dibangun itu.
Dengan demikian, saya yakin, ditangan “Orang-orang Beriman dan Beretika” wacana bisa digunakan untuk membangun harapan dunia yang lebih baik. Hanya saja, ditangan orang-orang yang berkebalikan dengan itu, misalnya ditangan provokator, penyalahgunaan wacana itu bisa saja terjadi. Dari “discourse” menjadi “Discourteous”. Wacana yang semula efektif untuk konstruksi realitas dan ciptakan makna, berubah digunakan untuk tindakan tidak senonoh (discourteous) berupa gossip, fitnah, hoaks, agitasi dst. Padahal ia bisa dipakai misalnya untuk kepentingan dakwah, tarbiyah, pengajaran, pemasaran atau kampanye sosial dan politik. Semua tergantung dari pilihan sadar masing-masing. []