Berdaulat.id, Jakarta, 25 Oktober 2024 – Universitas Paramadina menggelar diskusi bertema “Gen-Z & Work Ethic Problem” untuk mendalami tantangan serta potensi yang dihadapi generasi Gen-Z dalam dunia kerja. Acara ini dihadiri sejumlah narasumber ternama, di antaranya Nila Marita (Director Corporate Affairs GoTo), Tia Rahmania, M.Psi., Psikolog (Dosen Universitas Paramadina), Adrian Wijanarko, MM. (Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina), dan Coach Rene Suhardono (Motivator dan Praktisi Karier).
Diskusi ini mengulas berbagai aspek terkait karakteristik unik Gen-Z, tantangan yang mereka hadapi, serta ekspektasi mereka dalam lingkungan kerja modern.
Tantangan dan Ekspektasi Gen-Z
Nila Marita dari GoTo menjelaskan bahwa transparansi informasi dan apresiasi melalui umpan balik sangat penting bagi Gen-Z. Ia menyebutkan bahwa perusahaan perlu menciptakan ruang agar mereka dapat menunjukkan kemampuan. “Di GoTo, kami memiliki program seperti Engineering Bootcamp dan Associate Product Manager Bootcamp untuk mengembangkan keterampilan mereka. Dengan program ini, para karyawan muda merasakan dampak langsung dari kontribusi mereka,” ujar Nila.
Sementara itu, Tia Rahmania, psikolog dan dosen di Universitas Paramadina, menyoroti aspek keseimbangan hidup yang menjadi prioritas utama Gen-Z. “Mereka sering menghadapi stres karena fokus pada hasil instan dan kurang menghargai proses. Hal ini membuat mereka cenderung cepat berpindah pekerjaan serta menginginkan lingkungan kerja yang tidak toxic dan fleksibel,” ungkap Tia. Ia menambahkan bahwa di tahun 2025, Gen-Z diprediksi akan mencakup sekitar 27% populasi tenaga kerja global.
Kebutuhan Finansial dan Fleksibilitas dalam Kompensasi
Adrian Wijanarko menyoroti bahwa Gen-Z tidak hanya menghadapi tantangan dari sisi pekerjaan, tetapi juga dari masalah ekonomi. “Kesulitan ekonomi dan sulitnya akses perumahan menjadi isu serius bagi mereka, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini,” paparnya. Berdasarkan riset Universitas Paramadina, 62% responden Gen-Z merasa perlu mendapatkan pengakuan atas harga diri mereka dalam bentuk kompensasi dan pengakuan seperti gaji yang memadai.
Adrian juga menggarisbawahi bahwa pola kompensasi dan benefit perlu disesuaikan dengan ekspektasi Gen-Z. “Mereka menginginkan hasil cepat setelah menyelesaikan proyek (short-term) dan preferensi untuk memilih sendiri benefit seperti tunjangan kendaraan dan komunikasi,” jelas Adrian.
Memahami Gen-Z secara Lebih Personal
Dalam kesempatan yang sama, Coach Rene Suhardono mengingatkan agar masyarakat tidak menggeneralisasi Gen-Z. “Setiap individu di dalam generasi ini memiliki keunikan tersendiri. Generalisasi hanya akan menciptakan kesenjangan antargenerasi,” tegas Rene.
Ia menambahkan bahwa orang tua memiliki peran penting dalam mendampingi Gen-Z menghadapi dunia digital yang serba cepat. “Penggunaan teknologi dan media sosial yang sehat perlu dipahami dan diajarkan dengan baik oleh orang tua agar mereka mampu mengelola tekanan,” katanya.
Rene juga mengutip pandangan Ryan Jenkins, seorang pakar generasi, yang menekankan bahwa setiap generasi memiliki keunikan tersendiri. “Gen-Z adalah bagian dari siklus generasi yang unik, seperti halnya generasi sebelumnya. Dengan memberikan peluang yang tepat, mereka bisa menjadi agen perubahan positif bagi lingkungan kerja dan masyarakat,” pungkas Rene.
Diskusi ini memberikan wawasan penting bagi perusahaan dan masyarakat tentang cara beradaptasi dengan perubahan kebutuhan generasi muda. Dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan kolaborasi lintas generasi dapat berjalan lebih harmonis dan efektif.