Berdaulat.id – Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Mulyanto menilai, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penanggulangan COVID-19 dan Penyelamatan Sistem Keuangan Nasional memberikan kewenangan terlalu besar kepada Presiden. Salah satu yang disoroti adalah kewenangan mengatur jumlah dan alokasi anggaran negara secara mandiri yang termaktub dalam Pasal 2, ayat 1, butir b, c dan d.
“Dalam Pasal 2 itu Pemerintah diberi kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending), melakukan pergeseran anggaran antar-unit organisasi, antar-fungsi dan/atau antar-program, serta melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran APBN, yang anggaran pembiayaannya belum tersedia atau tidak cukup, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang dan jasa,” kata Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan, Sabtu (4/4/20).
Menurut Mulyanto, kewenangan yang besar itu berpotensi menghilangkan fungsi anggaran DPR yang sudah ditetapkan oleh konstitusi.
“Jika Perppu itu disetujui dan disahkan sebagai Undang-Undang, DPR secara praktis tidak lagi memiliki kewenangan fungsi anggaran,” ujarnya.
Dia menuturkan, hal ini berpotensi terjadi penyalagunaan wewenang (abuse of power) dalam mengelola anggaran yang jumlahnya sangat besar. Apalagi pada pasal lain dalam Perppu ini ditetapkan agar para pihak yang terlibat dalam upaya penanggulangan COVID-19 dan penyelamatan sistem ekonomi nasional dibebaskan dari tindak pidana dan perdata.
Itu sebabnya Mulyanto menegaskan Fraksi PKS di DPR akan mengkritisi Perppu secara objektif.
“Kami paham dalam suasana darurat seperti ini Pemerintah perlu kerja cepat dan fleksibel. Tapi kami juga ingin anggaran yang besar itu dikelola secara optimal, transparan dan dapat diawasi. Jangan sampai beleid ini dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang ingin mencari keuntungan,” ujar mantan Irjen Kementerian Pertanian ini.
Mulyanto juga menyoroti ketiadaannya batas maksimal relaksasi defisit anggaran. Dalam Undang-Undang Keuangan Negara ditentukan bahwa batas maksimal defisit anggaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara dalam PERPPU Pemerintah diberi izin melampaui batas defisit anggaran 3 persen tanpa disertai batas maksimal yang dapat ditoleransi.
“Tidak jelas dalam Perppu tersebut relaksasi defisit anggaran yang diperkenankan. Apakah 5 persen, 6 persen atau lebih. Ini seperti memberi cek kosong atas ruang fiskal yang mengarah pada tambahan utang,” jelas Mulyanto.
Mulyanto pun heran dalam Perppu ini tidak disebut secara tegas besaran anggaran tambahan untuk penanggulangan COVID-19. Dari sekian pasal, tidak ada satupun pasal yang menyebut besaran persentase anggaran penanggulangan Covid 19 yang disediakan dalam APBN.
“Kami juga tidak melihat ada pasal yang menjelaskan sampai kapan aturan khusus perencanaan, penetapan dan pengelolaan anggaran ini diberlakukan,” tambahnya.
Sebab, kata dia, sekali Perppu disahkan, maka akan berlaku terus hingga ada Undang-Undang baru yang membatalkan.
“Menurut logika saya harusnya berlaku untuk tahun 2020 saja. Jadi serupa dengan UU APBN-Perubahan. Padahal angka ini penting untuk ditetapkan agar setiap pihak bisa mengawasi aliran penggunaannya,” tandasnya. (Hdr)