Berdaulat.id, Fenomena mengkhawatirkan menghantui Indonesia saat ini, di mana data menunjukkan bahwa sebanyak 9,9 juta Generasi Z terperangkap dalam jurang pengangguran, menghadapi masa depan yang suram dalam golongan “Not in Employment, Education, or Training” (NEET). Diskusi mendalam tentang krisis ini telah digelar oleh Forum Guru Besar “Insan Cita” bersama INDEF (Institute For Development of Economics and Finance) dengan judul yang menggugah, “10 Juta Gen-Z Menganggur, Mungkinkah Indonesia Emas 2045?”.
Dalam diskusi daring pada tanggal 2 Juni 2024, Prof. Memed Sueb memaparkan bahwa tren NEET telah mengalami fluktuasi sejak 2018 dan terus meningkat, dengan mayoritas penganggur berada di rentang usia 20-24 tahun. Lebih lanjut, tingkat pengangguran Generasi Z mencapai angka alarmingly high di pedesaan, mencapai 4,17 juta.
Permasalahan yang terkait dengan biaya pendidikan yang tinggi juga menjadi sorotan dalam diskusi tersebut. Prof. Memed Sueb menyoroti dilema tersebut, mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah dalam menghadapi lonjakan tenaga kerja ini haruslah bertransformasi dengan teknologi yang ada. Dia menegaskan perlunya peran pemerintah dalam mengatasi masalah ini, termasuk pengurangan tenaga kerja asing dan peningkatan pemanfaatan tenaga kerja lokal.
Eisha M. Rachbini menambahkan dimensi baru dalam perdebatan dengan menyebutkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mencapai visi Indonesia 2045. Meskipun proyeksi menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang kuat, realitasnya menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi jauh di bawah proyeksi, mencapai hanya 5,1% pada kuartal pertama 2024.
Selain itu, tantangan produktivitas juga menjadi fokus pembicaraan. Pandemi telah memicu penurunan produktivitas, learning loss, dan job loss, serta memperlambat pemulihan pada sektor riil. Banyak masyarakat yang telah beralih ke pekerjaan remote atau part-time, yang menyebabkan terjadinya job loss dan menantang produktivitas.
Menghadapi tantangan ini, ada desakan untuk percepatan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasi, penguatan pelatihan reskilling dan upskilling, serta pembangunan padat karya dan hilirisasi. Ini adalah langkah-langkah kunci yang dianggap perlu untuk mengatasi krisis pengangguran generasi muda.
Namun demikian, tantangan tidak berhenti di situ. Dr. Tauhid Ahmad menyoroti proyeksi kemiskinan yang menunjukkan ketimpangan yang semakin memburuk. Dia menggarisbawahi perlunya investasi di sektor pertanian dan industri berbasis tenaga kerja, peningkatan kapasitas SDM melalui akses pendidikan dan pelatihan, dan peningkatan kapasitas pada lembaga formal dan informal.
Dalam konteks ini, penting untuk memperhatikan data kemiskinan yang sering kali tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Ir. Arif Minardi menyoroti pernyataan Presiden Jokowi tentang angka kemiskinan, menunjukkan kesenjangan antara retorika politik dan realitas lapangan. Hal ini menggarisbawahi perlunya menggunakan data yang akurat untuk merancang kebijakan yang efektif dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan pengangguran.
Dari diskusi tersebut, tergambar gambaran yang jelas tentang tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mencapai visi emas 2045. Untuk mengatasinya, diperlukan langkah-langkah konkret dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta untuk memastikan bahwa Generasi Z memiliki akses yang cukup terhadap pendidikan, pelatihan, dan kesempatan kerja yang layak, sehingga tidak hanya menjadi saksi bisu dari masa keemasan demografi, tetapi juga menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di masa depan.