Oleh Aswar Hasan
عن أبي ذرٍّ رضي الله عنه قال: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي؟ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي، ثُمَّ قَالَ: يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
Artinya:
Dari Abu Dzar رضي الله عنه, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau memberiku jabatan (untuk memimpin)?” Maka beliau menepuk pundakku dengan tangannya, kemudian bersabda; “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah. Dan pada hari kiamat, jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban di dalamnya.” (HR. Muslim )
Abu Dzar Al-Ghifari, adalah seorang sahabat Nabi yang dikenal sebagai sosok yang sangat jujur, zuhud (menjauhi dunia), dan memiliki kepedulian tinggi terhadap keadilan sosial.
Dalam suatu kesempatan, Abu Dzar meminta jabatan kepada Rasulullah ﷺ, mungkin sebagai bentuk pengabdiannya kepada Islam. Namun, Rasulullah ﷺ mengetahui bahwa meskipun Abu Dzar adalah orang yang sangat baik dan beriman kuat, ia tidak memiliki kecakapan dalam kepemimpinan dan administrasi pemerintahan.
Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ menasihatinya dengan bersabda; “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, sementara jabatan itu adalah amanah. Dan pada hari kiamat, jabatan itu menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan hak dan menunaikan kewajiban di dalamnya.” (HR. Muslim No. 1825) Kepemimpinan adalah tanggung jawab besar. Hadis ini menunjukkan bahwa kepemimpinan bukan hanya soal kekuasaan, tetapi amanah yang harus diperoleh secara benar dan dijalankan dengan adil dengan penuh tanggung jawab. Jika tidak, maka akan menjadi sumber penyesalan di akhirat.
Rasulullah ﷺ memahami bahwa meskipun Abu Dzar adalah sahabat yang sangat saleh, namun ia tidak memiliki kemampuan administratif dan kepemimpinan yang diperlukan. Hal ini mengajarkan bahwa kecakapan dan kompetensi adalah syarat penting dalam kepemimpinan.
Nasehat itu, juga mengingatkan bahwa Jabatan itu, tidak boleh dijadikan ambisi pribadi. Nasehat itu juga menunjukkan bahwa meminta jabatan bukanlah hal yang disukai dalam Islam, terutama jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menjalankannya dengan baik. Hadis ini muncul dalam konteks nasihat Rasulullah ﷺ kepada Abu Dzar tentang beratnya tanggung jawab kepemimpinan.
Ini menjadi pelajaran bahwa pemimpin harus amanah, memiliki kompetensi, dan tidak menjadikan jabatan sebagai ambisi pribadi. Sebaliknya, pemimpin yang tidak menunaikan amanahnya akan menghadapi penyesalan besar di akhirat.
Hadis tersebut memgingatkan 5 (Lima) hal yaitu; Pertama, Kekuasaan itu, adalah amanah. Dalam Islam, kekuasaan bukan sekadar hak atau kehormatan, tetapi merupakan amanah besar yang harus dijalankan dengan adil dengan penuh tanggung jawab.
Hal ini ditegaskan dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullahﷺ. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58). Ayat ini menunjukkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus diberikan kepada orang yang layak dan dijalankan dengan keadilan.
Sementara itu, Rasulullah ﷺ bersabda:”Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan harus diberikan kepada orang yang Kompeten sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ : “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari).
Kedua, Dalam Islam, jabatan atau kepemimpinan bukan sekadar kedudukan, melainkan amanah yang sangat berat. Jika tidak dijalankan dengan adil dan bertanggung jawab, akan menjadi kehinaan di akhirat.
Ketiga, kekuasaan bukan sekadar kehormatan atau hak istimewa, tetapi amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Jika seorang pemimpin tidak menjalankan kekuasaannya dengan adil dan bertanggung jawab, maka kekuasaan itu akan menjadi penyesalan yang besar di akhirat. Rasulullahﷺ mengingatkan bahwa: “Sesungguhnya kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kepemimpinan itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat. Kepemimpinan itu adalah sebaik-baik penyusuan (di awal), tetapi seburuk-buruk penyapihan (di akhir).” (HR. Bukhari).
Keempat, Dalam Islam, kekuasaan bukan sekadar hak atau kehormatan, tetapi amanah besar yang harus diperoleh dengan cara yang benar. Islam mengajarkan bahwa kepemimpinan harus didasarkan pada kompetensi, keadilan, dan tanggung jawab, bukan karena ambisi pribadi atau cara-cara yang zalim.p
Kepemimpinan tidak boleh diperoleh dengan cara curang atau zalim terkait cara curang memperoleh kekuasaan. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa: “Barang siapa yang meminta jabatan padahal dia tidak berhak atasnya, maka ia akan menanggung bebannya sendiri tanpa pertolongan Allah.”(HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Kelima, Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Jika seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan baik, ia akan mendapatkan pahala dan ridha Allah. Namun, jika ia lalai atau berbuat zalim, maka ia akan menghadapi kehinaan dan penyesalan di akhirat.
Tidak Berkhianat dalam Jabatannya sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ : “Barang siapa yang kami angkat untuk mengurus suatu urusan, lalu ia menyembunyikan (menggelapkan) sebatang jarum atau lebih, maka itu adalah kecurangan yang akan dibawanya pada hari kiamat.” (HR. Muslim ).
Jadi, kepemimpinan adalah amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Pemimpin yang adil akan mendapatkan keberkahan, sementara pemimpin yang zalim akan menyesal di akhirat. Agar tidak mengalami penyesalan di akhirat, seorang pemimpin harus memimpin dengan adil, jujur, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat.
Dengan menjalankan kepemimpinan sesuai dengan prinsip Islam, seorang pemimpin tidak hanya akan selamat dari penyesalan di akhirat, tetapi juga akan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah. Wallahu a’lam bisawwabe.