Berdaulat.id – Wakil Ketua MPR-RI Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid (HNW), menyampaikan kritik terhadap sikap Kementerian Agama yang ambigu dalam melaksanakan keputusan Raker Kemenag dengan Komisi VIII DPR RI soal relaksasi Masjid dan tempat Ibadah.
HNW yang juga Anggota Komisi VIII DPR RI ini mengingatkan, dalam Rapat Kerja Komisi VIII (11/5/20), Kemenag menyepakati untuk mempertimbangkan kebijakan relaksasi pembatasan ibadah di tempat ibadah, khususnya di daerah yang tidak termasuk zona merah. Sementara daerah yang berada di zona merah, disepakati juga untuk tetap ketat dan sepenuhnya mengikuti aturan penanganan Covid-19.
Dia menjelaskan, pada saat Raker dengan Kemenag, dirinya menyampaikan aspirasi dari banyak pihak, agar umat tak resah dan bisa khusyu’ Ibadah. Menurutnya, sangat penting ada keadilan untuk umat.
“Kalau Pemerintah sudah memutuskan untuk melakukan relaksasi terkait PSBB, bahkan ketentuan transportasi dan mudik, bahkan di bandara Soetta sampai berdesakan dengan tak lagi mengindahkan protokol penanganan Covid-19, sewajarnyalah bila umat Islam yang tidak berada di zona merah, diberikan relaksasi, agar dapat sholat di Masjid, menghidupkan syiar di Masjid dengan kumandangkan Adzan, tadarrus, termasuk sholat ‘Idul Fitri. Khususnya untuk Umat yang berada di kawasan zona hijau, sekalipun tetap melaksanakan ketentuan dasar penanganan Covid-19,” kata HNW dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (17/5/20).
Dia menjelaskan, relaksasi pembatasan tempat ibadah tetap akan menaati aturan penanganan Covid-19. Misalnya jumlah jama’ah yang tidak membludak, dan tetap ada physical distancing. Ia mengutip fatwa MUI yang dikeluarkan berkaitan dengan panduan ibadah pada saat Covid-19, yang menyebutkan bahwa umat Islam tidak boleh menyelenggarakan ibadah yang mengumpulkan orang banyak jika kondisi penyebaran Covid-19 di kawasan tersebut tidak terkendali.
Namun, MUI juga mewajibkan sholat Jumat di kawasan yang kondisi penyebaran Covid-19 nya terkendali. Hal ini menunjukkan bahwa pembatasan kegiatan ibadah menurut fatwa MUI di tempat ibadah sangat bergantung pada kondisi suatu kawasan.
Dia mengaku prihatin, karena Fatwa MUI tidak dipahami dengan baik dan utuh. Sehingga di banyak tempat yang bukan zona merah sekalipun, masjid ditutup, bahkan ada yang digembok. Jamaah juga mutlak dilarang sholat Jumat, sholat Tarawih, dan aktifitas lain, sehingga menghadirkan kehebohan serta ketidak-harmonisan di tingkat akar rumput umat.
Menurutnya, pertimbangan relaksasi pembatasan tempat ibadah di zona hijau, dengan menaati aturan Covid-19 perlu dilakukan untuk menghadirkan keadilan dan ketentraman umat. Sekaligus menghilangkan stigma seolah-olah Covid-19 ini adalah konspirasi kepada umat Islam khususnya.
Karena membiarkan hal itu, kata dia, justru akan meresahkan dan menimbulkan stres yang bisa menggerus imunitas, sehingga justru membuat umat rentan terkena Covid-19. Sebagaimana kesepakatan dalam Raker Komisi VIII, relaksasi pembatasan tempat ibadah di zona hijau, juga berlaku bagi rumah ibadah agama lainnya, sehingga ada keadilan dan ketenangan antar sesama umat beragama.
“Jangan sampai umat menyaksikan kebijakan relaksasi di berbagai kegiatan dan tempat, tapi umat tetap dilarang beribadah ke Masjid, karena hal ini akan menimbulkan kegusaran dan rasa ketidakadilan,” ungkap HNW.
Sebelumnya, pada Raker Komisi VIII dengan Kemenag (11/5/20), Menteri Agama menyepakati untuk mempertimbangkan relaksasi tempat ibadah khususnya di zona hijau, karena relaksasi juga sudah diberlakukan di PSBB, moda transportasi. Anehnya, Dirjen Bimas Islam Kamarudin Amin pada 13 Mei justru “menganulir” usulan Menag yang juga sudah disepakati oleh Wakil Menag selaku Wakil Ketua MUI. Bahkan, yang menjadi keputusan Raker dg Komisi VIII DPR RI.
“Agar Menag dan Wamenag menegur Dirjennya yang menganulir pernyataan terbuka Wamenag yang esensinya justru untuk laksanakan keputusan Raker dengan Komisi VIII DPR, dengan mempertimbangkan realisasi relaksasi untuk Masjid dan Rumah Ibadah lainnya, di zona hijau, dengan tetap mentaati ketentuan protokol penanganan Covid-19” pungkasnya. []