Berdaulat.id – Menaklukkan hati anak. KISAH Ibrahim As yang diperintahkan Allah SWT untuk mengorbankan Ismail As termaktub abadi dalam Alquran. Selain sebagai tonggak perintah bagi ummat Islam melaksanakan ibadah Qurban setiap tahunnya, peristiwa ini merekam betapa kuatnya perasaan cinta antara ayah dan anak.
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur)sanggup berusaha bersamanya (Ibrahim) berkata, ‘Wahai, anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu’ Dia (Ismail) berkata, ‘Wahai, Ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’” (Qs. Shafaat: 102).
Meskipun Ibrahim As tahu persis, mimpinya adalah perintah yang tak bisa ditawar, sebagai ayah, ia tetap menanyakan apa pendapat sang anak. Demikian pula dengan Ismail As, selain tauhid yang kokoh dalam jiwanya, ia yakin bahwa apa yang dikatakan oleh ayahnya, itulah yang terbaik untuknya. Hingga ia berkata, “InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Sebuah jawaban yang menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya, sesunguhnya menyiratkan ketakutan Ismail As. Namun, cintanya pada Allah SWT dan ayahnya Ibrahim, mengalahkan semua ketakutannya.
Membangun Kekuatan
Rasa cinta yang mampu memotivasi untuk mengalahkan ketakutan dan keraguan inilah yang harus dibangun seorang ayah dalam hati anak-anaknya. Menurut Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Fatawa, sesungguhnya hati ibarat raja dalam diri manusia. Bagian lain adalah prajurit yang mengikuti. Jadi, bila hati telah ditaklukkan maka bagian lainnya akan menuruti.
Hati yang telah terbuka inilah yang akan menerima hal-hal yang disampaikan oleh orangtua terutama ayah sebagai pemegang kendali keluarga. Karena, selain memastikan anak-anaknya baik-baik saja selama ia hidup di dunia, seorang ayah dilarang keras meninggalkan anak-anak yang lemah sepeninggalnya.
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (Qs. An-Nisaa ayat 9).
Lemah dalam ayat ini menggunakan kata dhaif. Sementara kata dhaif biasanya bukan menunjuk pada lemah fisik, melainkan pada kelemahan spiritual. Untuk menunjukkan kelamahan fisik biasanya digunakan kata wahn, sebagaimana digunakan dalam surat Luqman ayat 14, “Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun.”
Ada tiga kondisi dhaif yang mesti dihindarkan seorang ayah terjadi pada anak-anaknya.
Pertama, lemah dalam menjalani ujian kehidupan. Anak-anak yang lemah jiwanya dalam menjalani ujian kehidupan biasanya menunjukkan gejala “lari dari masalah” atau stress. Bahkan keduanya. Lari dari masalah, biasanya membuat anak tidak mau bertanggung-jawab atas perannya dalam masalah. Bahkan menimpakan masalah tersebut pada orang lain. Mencoba mencari aman dan mau enaknya sendiri. Kondisi seperti ini akan membahayakan orangtua, keluarga, bahkan masyarakat.
Gejala kedua adalah merasa sangat tertekan hingga stress dan bisa berujung pada bunuh diri atau membunuh orang lain. Orang yang tidak mampu mengelola perasaan dan pikirannnya ketika menghadapi masalah, bisa mejadi orang-orang yang berperilaku menyimpang. Merugikan dirinya sendiri bahkan bisa menyakiti orang lain.
Rasulullah Saw adalah contoh terbaik dalam menghadapi ujian kehidupan. Ujian yang beliau hadapi bukan kepalang beratnya. Beliau harus menjalani tiga tahun masa pemboikotan kaum Quraisy di Mekkah. Tiga tahun tanpa pasokan makanan yang mencukupi. Juga, pemblokiran akses ekonomi dan komunikasi dengan masyarakat diluar Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Disertai ancaman pembunuhan atas dirinya. Namun, Rasulullah Saw tidak kemudian lari dari tugasnya sebagai utusan Allah SWT. Beliau juga tidak meninggalkan kaumnya merasakan penderitaan sendirian. Kaum Muslimin merasakan kelaparan yang hebat, begitu juga dengan beliau. Tak hentinya beliau memohon pertolongan Allah SWT. Namun, masa tiga tahun tentu bukanlah masa yang singkat.
Kesedihan, kemiskinan, kelaparan, dan pengucilan; tentu sangat berat membebani jiwa Rasulullah Saw. Apalagi keluarga, sahabat, dan kaum yang dicintainya turut menanggung derita. Diakhiri dengan kepedihan yang sangat memukul batinnya; Khadijah dan Abu Thaib meninggal dunia. Dua orang yang sangat dicintanya. Menjadi penolong dan penguat hatinya selama ini. Andai saja kita yang berada di posisi Rasulullah Saw, entah apa yang telah kita lakukan.
Akan tetapi, inilah contoh yang Allah SWT berikan kepada kita. Bahwa, seberat apapun derita yang kini tengah kita jalani, ada manusia agung yang lebih dahulu menjalani cobaan yang jauh lebih berat. Beliau juga memberi tahu cara agar kita tetap tenang dan dapat keluar dari sebuah ujian dengan baik.
Kedua, lemah (dhaif) menghadapi syahwat. Ada sebuah masalah tersendiri bagi kita, terutama generasi muda saat ini untuk bisa berkata tidak. Sikap untuk menolak sesuatu yang buruk kadang menjadi dilematis pada masyarakat kita. Padahal berani menolak sesuatu yang buruk dan berani berkata tidak untuk sesuatu yang menjerumuskan kita pada maksiat adalah pencerminan ketauhidan itu sendiri.
Mengapa kalimat tauhid diawali dengan Laa yang berarti penolakan? Itu karena di zaman jahiliyyah, kaum kafir Quraisy sebenarnya sudah mengakui bahwa Allah-lah Sang Pencipta. Allah SWT yang membuat mereka mampu melakukan perjalanan jauh untuk berdagang dan mempertahankan hidup. Namun, mereka tidak mampu menundukkan keinginan (syahwat) mereka untuk tetap menyembah Lata, Uza, Manat, dan yang lainnya. Karena leluhur mereka menyembah berhala-berhala tersebut. Karena, dengan tetap menyembah berhala-berhala itu, mereka bisa melanggengkan tradisi-tradisi amoral dan bejat; sesuai dengan keinginan syahwat.
Inilah mengapa mengatakan Laa menjadi penting bagi seorang anak. Tugas ayahlah untuk mampu menegapkan jiwa seorang anak saat harus lantang berkata tidak pada sesuatu yang membuatnya bermaksiat kepada Allah SWT.
Ketiga, lemah (dhaif) terhadap kemarahan. Bila kita melihat acara-acara hiburan yang disuguhkan kepada anak, sedari anak yang masih kecil, remaja, hingga dewasa; banyak sekali yang mengumbar kemarahan untuk memperlihatkan kekuatan. Tayangan kartun pahlawan super, robot, animasi, hingga drama Korea, didominasi kemarahan sebagai pemicu konflik dan adu kekuatan.
Padahal dalam Islam, mampu menahan marah adalah salah satu ciri orang bertakwa, sebagaimana Allah SWT berfirman, “Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Qs. Ali Imran : 134).
Marah kemudian memamerkan kekuatan pun bukan tanda ia orang kuat menurut Rasulullah Saw: “Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian) tetapi tidak lain orang yang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah. (HR Bukhari dan Muslim).
Jadi, jelas, disinilah peran ayah untuk menanamkan pengertian pada anak bahwa kekuatan yang sebenarnya ada pada sekuat apa ia mampu mengendalikan dirinya bahkan ketika ia mampu melampiaskan kemarahannya sekalipun. Meski, ia yang berada di pihak yang benar sekalipun. Ayah yang mampu meneduhkan hati anaknya sekaligus mampu mengajarkan cara mengendalikan diri inilah yang sangat dibutuhkan anak.
Contoh ayah yang tetap ramah saat dia lelah, ayah yang tetap tersenyum meskipun tengah menghadapi tekanan dari banyak pihak, dan ayah yang tetap bersedia mendengarkan anak meski ia adalah pemegang otoritas tertinggi di dalam rumah. Inilah yang didambakan oleh anak hingga nantinya ia tumbuh menjadi pribadi yang kuat mengendalikan amarahnya.
Jurus Jitu
Lalu bagaimana caranya agar kita bisa menjadi orangtua yang didamba anak sekaligus mampu menaklukan hatinya?
- Bertakwa kepada Allah SWT
Inilah kunci dari masalah apapun dalam hidup kita. Termasuk dalam masalah pengasuhan. Sejauh mana ketakwaan kita kepada Allah SWT, maka sejauh itu pula kemampuan kita mengatasi masalah pengasuhan yang timbul pada kita dan anak-anak kita. Setiap kemaksiatan yang kita lakukan maka dampaknya terlihat pada perilaku anak-anak kita. Lihatlah sejauh mana kita mampu sholat tepat waktu; maka sejauh itu pula anak-anak mau menaati seruan kita untuk mendirikan sholat, disiplin menjalankan tugas-tugasnya, termasuk patuh pada aturan yang telah disepakati.
Fudhail bin Iyadh dalam Al-Bidayah wan Nihayah mengatakan bahwa salah satu efek banyaknya maksiat yang kita lakukan adalah renggangnya pertalian hati kita dengan anak dan pasangan. Allah SWT berfirman, “dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS Al-Anfal:83).
Jadi, bagaimana cara agar anak dan pasangan mau mendengarkan apa yang kita sampaikan dan membuka hatinya untuk melakukan dengan tulus; maka mendekatlah lebih rapat pada Allah SWT. Perbanyak sholat malam dan tilawah Alquran, maka mintalah kepada Allah SWT agar hati kita mampu menerima pesan-pesan luar biasa yang merupakan kunci jalan keluar dari segala permasalahan yang ada.
- Ucapkan kalimat yang bermakna
Allah SWT berfirman, “ Wahai orang-orang yang berselimut, bangunlah (untuk sholat) pada malam hari kecuali sebagian kecil (yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu atau lebih dari (seperdua) itu dan bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu. Sungguh bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa) dan (bacaan diwaktu itu) lebih berkesan. (Qs. Al-Muzammil :1-6).
Perkataan yang bermakna dalam kehidupan tidak lain adalah Alquran. Oleh karena itu, bila kita ingin didengar oleh anak juga ingin mengatakan perkataan yang berbobot, bermakna, dan membekas pada jiwa; maka katakanlah apa yang Allah SWT sampaikan dalam Alquran. Sebagaimana Rasulullah Saw senantiasa mengatakan apa-apa yang terdapat di dalam Alquran. Apa yang dikatakannya bukanlah karangan, apa yang dikatakannya adalah apa yang Allah SWT turunkan dalam hatinya yaitu Alquran.
Kekuatan lisan Rasulullah Saw ini sangat ditakuti oleh pemuka Quraisy ketika itu. Padahal para pemuka Quraisy notabene adalah orang-orang pandai membuat syair dan kualitas syair ketika itu tengah berada di puncaknya. Salah satu ketakutan itu tercermin manakala Abu Jahal berpesan pada salah seorang kerabatnya yang baru datang dari Thaif.
Abu Jahal berpesan pada kerabatnya ini bahwa ia harus menjauhi kerumunan yang di dalamnya ada seorang lelaki bernama Muhammad. Bila ia tetap mendengarkan Muhammad maka ia kelak akan keluar dari agama nenek moyangnya. Namun, rupanya kerabatnya ini tetap bertemu dengan kerumunan yang tengah mendengarkan dakwah Rasulullah Saw. Ia telah menggunakan sumbat telinga agar tidak mendengar apapun yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. Namun, Allah berkehendak lain, ia tetap mampu mendengar apa yang dikatakan Rasulullah Saw. Hingga ia semakin tertarik pada apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Ia menyimak apa yang dikatakan Rasul Saw. Jadilah kemudian ia segera beriman dan bersyahadat.
Inilah kekuatan Alquran. Firman Allah SWT. Yang disampaikan oleh Rasulullah Saw adalah Alquran. Inilah yang menaklukan hati orang-orang Quraisy ketika itu. Inilah pula yang akan menaklukkan hati anak-anak kita untuk taat pada Allah SWT dan berbakti pada kita, orangtuanya.
Cara Rasulullah Saw menyampaikan Alquran ini ada tiga. Pertama, sampaikanlah dengan jujur. Salah satu sifat utama Rasulullah Saw sebelum diangkat menjadi Rasul adalah Al-Amin. Orang-orang Quraisy tahu benar kualitas diri Rasul Saw yang satu ini. Muhammad Saw adalah satu-satunya orang yang paling jujur dan terpercaya di tengah kaumnya. Oleh karena itu, untuk bisa mengucapkan kata-kata yang membekas dalam hati, kejujuran adalah modal utama. Tanpa kejujuran tak akan ada kata-kata yang akan diterima oleh anak. Apalagi anak adalah pengamat yang paling jeli merekam jejak keseharian kita.
Cara kedua adalah tepat sasaran. Lihatlah kepada siapa kita akan berkata. Bicara pada anak balita dengan bicara pada anak yang telah memasuki usia dewasa, pastilah harus menggunakan metode yang berbeda. Begitu pula berbicara pada anak lelaki dan anak perempuan. Kita harus menggunakan teknik berbeda. Bicara pada anak perempuan, sebaiknya dengan posisi berhadapan. Karena, anak perempuan lebih membutuhkan perhatian. Gerak-gerik dan intonasinya harus benar-benar kita lihat. Ekspresinya mencerminkan perasaan bahkan kegelisahan yang dirasakan. Sentuhan dan perhatian akan jadi pembuka hatinya untuk mendengarkan dan menerima apa yang kita katakan.
Sementara pada anak lelaki, penghargaan pada apa yang diketahui dan dipilihnya adalah jendela untuk membuatnya mau membuka hati. Oleh karena itu, Rasulullah Saw memilih untuk menepuk punggung Abdullah bin Umar ra seraya menjajari duduknya ketika menyampaikan nasihatnya. Sikap menghargai ini akan lebih efektif dibandingkan mendikte apa yang ingin kita sampaikan.
Cara ketiga adalah tepat konteks. Bicaralah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan yang tengah dihadapi oleh anak. Sebagaimana Alquran turun menjawab permasalahan kehidupan. Selalu up to date dan tepat menjawab dari akar permasalahan yang ada. Sehingga selalu menghujam kuat dalam jiwa orang yang menerimanya.
Inilah cara-cara menaklukan hati anak yang telah diajarkan oleh Allah SWT dan RasulNya yang agung. Intinya adalah bagaimana kita dapat meningkatkan kedekatan pada Allah SWT karena Allah-lah yang berkuasa untuk menyatukan hati kita. Bukan secakap apa kita berbicara, juga bukan pada sebanyak apa harta yang mampu kita kumpulkan dari pekerjaan kita. Dari kedekatan dengan Allah SWT dan kalamNya pula, kita akan mendapatkan cara agar mampu mengatakan kalimat yang berbobot dan bermakna. Qoulan sadida. Mencontoh dari apa yang RasulNya lakukan. Menyimak dari apa yang beliau katakan. Mematuhi dari apa yang beliau tetapkan. Inilah legasi pengasuhan yang telah mencetak generasi terbaik sepanjang zaman.
Oleh: Ustaz Bendri Jaisyurrahman (Pakar Parenting Islam)