Oleh: Yons Achmad(Pengamat Komunikasi, tinggal di Depok)
Berdaulat.id, Manuver komunikasi politik PKS yang zig-zag, meliuk-liuk asyik juga dicermati. Pasca Jubir PKS sosialisasikan dan tawarkan Sohibul Iman sebagai calon gubernur Jakarta, kini DPP PKS luncurkan kejutan baru. Tawarkan Anies Baswedan sebagai calon gubernur, berpasangan dengan Sohibul Iman sebagai calon wakil gubernur. Kejutan berikutnya, ternyata pencalonan itu tetap saja belum final, masih dinamis. Semua bisa berubah didetik-detik terakhir. Seperti layaknya keputusan politik yang terjadi.
CNN Indonesia (Rabu, 26 Juni 2024) menerbitkan berita berjudul “PKS Masih Buka Opsi Ganti Cawagub Pendamping Anies”. Menurut Presiden PKS Ahmad Syaikhu, mereka masih membuka peluang mengganti Sohibul Iman dari calon wakil gubernur Jakarta pendamping Anies Baswedan. Nama Sohibul Iman masih bisa diganti sesuai hasil kerja sama atau koalisi dengan partai lain. Pasalnya, PKS masih membutuhkan koalisi dengan partai lain agar memenuhi syarat untuk mendaftarkan cagub-cawagub ke KPU. Syaikhu mengatakan, PKS terbuka untuk melakukan negosiasi, salah satunya dengan PDIP.
Artinya apa? Komunikasi politik masih begitu dinamis dimainkan. Terutama, tentu dimainkan terbatas oleh elit-elit partai di tubuh PKS. Tarik menarik kepentingan yang dimainkan oleh para elit pasti terjadi. Sementara, kader-kader PKS di bawah, saya kira hanya bisa menyaksikan dari kejauhan bagaimana elit-elit partai mengambil keputusan. Istilah “esuk dele sore tempe,” “Cek Ombak” menjadi begitu akrab yang melahirkan banyak spekulasi, gosip bahkan fitnah. Kabar kurang mengenakkannya, seperti mengutip Thomas Carothers dalam “Jurnal Carnegie Endowment in International Peace” menggambarkan partai di Indonesia memang sangat “Leader centric” yang didominasi lingkaran kecil elit. Artinya, komunikasi politik elit menentukan keputusan dibanding keorganisasian partai itu sendiri.
Kini, komunikasi politik masih berjalan dinamis. Usaha untuk mencapai kesepahaman bersama (mutual understanding) sebagai hakikat komunikasi itu sendiri sedang berlangsung secara dinamis. PKS sendiri, saya kira sedang memainkan politik melingkar (circular model). Dengan melakukan komunikasi politik aktif, menjajaki beragam peluang terbaik yang bakal diperoleh. Membuka seluas-luasnya kemungkinan, termasuk menjadikan Sohibul Iman bukan harga mati cawagub. Tentu saja, ini bisa menarik perhatian partai lain.
Satu komunikasi politik yang luwes dimainkan PKS. Dalam konteks ini, PKS secara berani mengambil inisiatif untuk memajukan “jagoannya” lebih awal ke gelanggang. Hanya saja, tetap membuka ruang koalisi yang sangat menarik perhatian. Sekaligus, juga menyiapkan alternatif terbaik (the best alternative to negosiated agreement). Artinya, menyiapkan diri kalau memang cawagub mendapatkan penolakan dan harus rela melepasnya demi kemenangan kandidat yang diusung, yaitu Anies Baswedan.
Layaknya dalam sebuah kontestasi politik, betapapun serunya, publik terkadang hanya bisa melihat tampak luarnya saja. Ibaratnya, kandidat beserta partai-partai pendukungnya semacam kebun rahasia politik (the secret garden of politic). Banyak ruang gelap yang tak terjangkau publik. Itu sebabnya, nalar kritis politik perlu terus dinyalakan. Layaknya “orang luar” (outsider) kerap memiliki keterbatasan akses kepanggung belakang (backstage) kandidasi yang seringkali penuh dengan segudang misteri.
Terlepas dari siapapun kandidat yang bertarung, layaknya setiap perhelatan pemilu atau pilkada, dikenal dengan istilah “finite game” alias permainan yang jelas akhirnya. Nah, siapa mereka? Saya kira, siapaun mereka, pertimbangan kandidat pemenang yang bisa mengimbangi kekuasaan pusat (istana) perlu dihadirkan. []