Kamis, Oktober 10, 2024
BerandaNasionalOligarki Menggerogoti Demokrasi Internal Parpol: Tantangan bagi Masa Depan Demokrasi Indonesia

Oligarki Menggerogoti Demokrasi Internal Parpol: Tantangan bagi Masa Depan Demokrasi Indonesia

Berdaulat.id, Diskusi tentang demokrasi internal partai politik (parpol) kembali mencuat di tengah kekhawatiran publik mengenai semakin dominannya oligarki di dalam tubuh parpol. Dalam diskusi bertajuk “Demokrasi Internal dan Oligarki Partai” yang diadakan secara daring oleh Universitas Paramadina dan LP3ES pada Jum’at (27/9/2024), Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, mengungkapkan bahwa partai politik saat ini lebih menyerupai perusahaan keluarga atau perseroan terbatas, di mana demokrasi internalnya terabaikan.

“Demokrasi internal di partai politik seolah-olah dianggap taken for granted. Jika demokrasi internal tidak ada, bagaimana mungkin mereka mampu membawa demokrasi ke ranah publik?” ujar Didik. Menurutnya, partai politik hanya akan menjalankan demokrasi ketika dipaksa oleh aturan, tekanan publik, atau adanya mekanisme kontrol yang kuat. “Check and balances, transparansi, dan kontrol publik adalah filter penting untuk menjaga agar kepentingan pribadi elite tidak mendominasi,” tegasnya.

Selain itu, Didik juga menyoroti adanya kecenderungan pengkultusan keluarga dalam partai politik. “Seolah-olah ada ‘titisan’ dalam partai, seperti Megawati yang dianggap sebagai titisan Soekarno,” lanjutnya. Fenomena ini, menurutnya, menjadi salah satu alasan mengapa demokrasi internal di parpol semakin sulit diimplementasikan.

Kekhawatiran tentang Demokrasi Internal Parpol Sudah Lama Disuarakan

Dosen Universitas Paramadina, Dr. Herdi Sahrasad, mengungkapkan bahwa kekhawatiran akan minimnya demokrasi internal di parpol sudah ada sejak awal reformasi. Namun, suara-suara tersebut tidak cukup kuat untuk mengubah budaya yang sudah tertanam dalam partai politik. “Semakin ke sini, semakin terlihat bahwa tidak ada lagi etika dan nilai-nilai yang dihormati oleh elit politik di Indonesia,” katanya.

Menurut Herdi, demokrasi internal di parpol saat ini hampir mustahil karena pengaruh oligarki yang sangat kuat. “Ketua partai seringkali tunduk pada oligarki modal atau bohir, yang memaksakan kepentingannya kepada para elite partai,” jelasnya. Herdi menambahkan bahwa fenomena ini telah menciptakan sistem demokrasi transaksional, di mana uang menjadi faktor penentu utama dalam proses politik. “Akibatnya, parlemen kehilangan fungsinya sebagai pengawas, korupsi semakin merajalela, dan utang negara melonjak hingga hampir Rp10.000 triliun.”

Demokrasi Transaksional dan Oligarki: Menggerus Substansi Demokrasi

Aisah Putri Budiarti, Associate Researcher dari LP3ES, turut menyoroti problematika demokrasi internal dalam parpol yang semakin kompleks. Ia menilai bahwa meskipun UU No. 2 Tahun 2011 telah menekankan pentingnya proses rekruitmen dan kaderisasi di partai, praktik di lapangan masih jauh dari harapan. “Demokrasi internal partai bukan semakin matang, melainkan semakin berpolemik,” ungkap Aisah.

Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, menambahkan bahwa parpol di Indonesia merupakan institusi yang paling lambat berubah sejak era reformasi. “Berbagai institusi lain telah berubah, tetapi partai politik tidak. Kepercayaan publik terhadap partai politik sangat rendah, dan regenerasi di tubuh partai tidak berjalan dengan baik,” kata Wijayanto.

Menurutnya, partai politik cenderung didominasi oleh keluarga dan dinasti politik, di mana pemimpin partai sering digantikan oleh keturunannya atau oleh mereka yang memiliki modal besar. “Kita sering melihat calon kepala daerah yang popularitasnya tinggi tiba-tiba dianulir oleh partai, karena keputusan elite partai lebih dipengaruhi oleh kepentingan oligarki,” tambahnya.

Solusi: UU Reformis dan Revolusi Kultural

Baik Aisah maupun Wijayanto sepakat bahwa undang-undang yang lebih reformis diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Namun, mereka juga mengakui adanya dilema bahwa yang membuat undang-undang tersebut adalah partai politik itu sendiri. “Ini seperti masalah telur dan ayam, siapa yang harus memulai lebih dulu?” ujar Wijayanto.

Herdi menutup diskusi dengan menyatakan bahwa perbaikan sistem politik Indonesia memerlukan revolusi kultural. “Reformasi politik tidak cukup lagi, kita memerlukan revolusi kultural yang mampu menggantikan sistem oligarki dengan demokrasi yang lebih substantif,” tegasnya.

Dengan demikian, tantangan demokrasi di Indonesia bukan hanya soal kebijakan, melainkan juga soal budaya dan nilai-nilai yang mendasari politik itu sendiri. Jika demokrasi internal di dalam partai tidak segera dibenahi, maka akan sulit bagi Indonesia untuk mencapai demokrasi yang sesungguhnya, baik di tingkat partai maupun di ranah publik.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments