Berdaulat.id, Saya yang faqir ilmu ini cuma ingin bertanya, kenapa muslim Sunni tidak pernah memperingati 10 Muharram dengan menceritakan kembali peristiwa yang terjadi di Padang Karbala.
Bukankah tragedi Karbala menjadi penyebab terbunuhnya ahlul bait, cucu kesayangan Nabi Muhammad Saw beserta keluarga dan sahabat setianya.
Seperti kita ketahui, setiap 10 Muharram, kaum Syiah memperingati syahidnya Imam Husein di Padang Karbala dengan menggelar aktivitas keagamaan yang mereka sebut Hari Asyura. Tapi tulisan ini tidak sedang membahas keyakinan Syiah tentang ritual Hari Asyura. Melainkan sisi sejarah dalam pandangan Muslim Sunnni atau Ahlussunnah wal Jamaah.
Adapun muslim Sunni biasa merayakan 10 Muharram dengan memberi santunan kepada sejumlah anak yatim, dirangkai kegiatan keagamaan dalam bentuk yang lain.
Saya kira belum banyak masyarakat awam yang tahu peristiwa apa saja yang terjadi di bulan Muharram. Salahsatunya adalah tentang sejarah Peristiwa Karbala, dimana Husein bin Ali bin Abi Thalib, syahid terbunuh di Padang Karbala dengan cara yang menyedihkan.
Selama ini saya cuma tahu sekilas, ihwal terbunuhnya cucu Nabi. Saya pun coba cari tahu lebih detil, apa yang terjadi di Padang Karbala.
Disini saya tidak merujuk sumber dari kalangan Syiah. Tapi coba mengetahui bagaimana pandangan Muslim Sunni/ Ahlussunnah wal jamaah terhadap peristiwa Karbala.
Kenapa tidak mencari sumber ke kelompok Islam Syiah? Karena menurut tokoh senior Salafi, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam tulisannya yang berjudul PERISTIWA KARBALA DALAM PANDANGAN AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH, dimuat di Al Manhaj,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan dalam kitab Aqidah al-Wasithiyyah : “Ahlussunnah menahan lidah dari permasalahan atau pertikaian yang terjadi diantara para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum”.
Syaikhul Islam mengatakan, “Orang-orang yang meriwayatkan pertikaian Husain RA telah memberikan tambahan dusta yang sangat banyak, sebagaimana juga mereka telah membubuhkan dusta pada peristiwa pembunuhan terhadap ‘Utsman RA, sebagaimana mereka juga memberikan tambahan cerita (dusta) pada peristiwa-peristiwa yang ingin mereka besar-besarkan, seperti dalam riwayat mengenai peperangan, kemenangan dan lain sebagainya. Para penulis tentang berita pembunuhan Husain RA, ada diantara mereka yang merupakan ahli ilmu (ulama) seperti al-Baghawi rahimahullah dan Ibnu Abi Dun-ya dan lain sebagainya. Namun demikian, diantara riwayat yang mereka bawakan ada yang terputus sanadnya. Sedangkan yang membawakan cerita tentang peristiwa ini dengan tanpa sanad, kedustaannya sangat banyak”
Dan mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya riwayat-riwayat yang dibawakan dan sampai kepada kita tentang keburukan-keburukan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum (pertikaian atau peperangan) ada yang dusta dan ada juga yang ditambah, dikurangi dan dirubah dari aslinya (serta ada pula yang shahih-pen). Riwayat yang shahih menyatakan, bahwa para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum ini ma’dzûrûn (orang-orang yang diberi udzur). Baik dikatakan karena mereka itu para mujtahid yang melakukan ijtihad dengan benar ataupun juga para mujtahid yang ijtihadnya keliru.”
Ahlussunah wal Jama’ah menilai, sebagian besar riwayat yang bertebaran dalam kitab-kitab tarikh (sejarah), mencakup semua kejadian dalam sejarah Islam, termasuk kisah pembunuhan Husain bin Ali ra di Karbala. adalah kebohongan belaka. Sebagian lagi dhaif dan ada juga yang shahih.
Riwayat yang dinyatakan shahih oleh para ulama ahli hadits yang bersesuaian dengan kaidah ilmiah dalam ilmu hadits, inilah yang wajib dijadikan pedoman dalam mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Dari sini, kita dapat memahami betapa sanad itu sangat penting untuk membungkam para pendusta dan membongkar niat busuk mereka.
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Sanad itu senjata kaum muslimin, jika dia tidak memiliki senjata lalu apa yang dia pergunakan dalam berperang”.
‘Abdullah bin Mubârak rahimahullah mengatakan, “Sanad ini termasuk bagian dari agama. kalau tidak ada isnad, maka siapapun bisa berbicara semaunya.”
Imam Muslim raimahullah juga membawakan perkataan Ibnu Sîrin, “Dahulu, mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Ketika fitnah mulai banyak, mereka mengatakan, “Sebutkanlah nama orang-orangmu yang meriwayatkannya”
MENYIKAPI TRAGEDI KARBALA
Dalam menyikapi peristiwa pembunuhan Husain Radhiyallahu ‘anhuma, manusia terbagi menjadi tiga: dua golongan yang ekstrim dan satu berada di tengah-tengah.
Golongan Pertama : Mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Husain RA ‘anhuma itu merupakan tindakan benar. Karena Husain RA ‘anhuma ingin memecah belah kaum muslimin.
Sebagian lagi mengatakan bahwa Husain ra merupakan orang pertama yang memberontak kepada penguasa. Kelompok ini melampaui batas, sampai berani menghinakan Husain ra. Inilah kelompok ‘Ubaidullah bin Ziyâd, Hajjâj bin Yusûf dan lain-lain. Sedangkan Yazid bin Muâwiyah tidak seperti itu. Meskipun tidak menghukum ‘Ubaidullah, namun ia tidak menghendaki pembunuhan ini.
Golongan Kedua : Mereka mengatakan Husain ra adalah imam yang wajib ditaati; tidak boleh menjalankan suatu perintah kecuali dengan perintahnya; tidak boleh melakukan shalat jama’ah kecuali di belakangnya atau orang yang ditunjuknya, baik shalat lima waktu ataupun shalat Jum’at. Juga tidak boleh berjihad melawan musuh kecuali dengan izinnya.
Kelompok pertama dan kedua ini berkumpul di Irak. Hajjâj bin Yûsuf adalah pemimpin golongan pertama. Ia sangat benci kepada Husain RA.
Sementara kelompok kedua dipimpin oleh Mukhtâr bin Abi ‘Ubaid yang mengaku mendapat wahyu dan sangat fanatik dengan Husain RA. Orang inilah yang memerintahkan pasukannya agar menyerang dan membunuh ‘Ubaidullah bin Ziyad dan memenggal kepalanya.
Golongan Ketiga : Yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah tidak sejalan dengan pendapat golongan pertama dan golongan kedua. Mereka mengatakan bahwa Husain ra terbunuh dalam keadaan terzhalimi dan mati syahid. Inilah keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang selalu berada di tengah antara dua kelompok.
Ahlussunnah mengatakan Husain ra bukanlah pemberontak. Sebab, kedatangannya ke Irak bukan untuk memberontak. Seandainya mau memberontak, beliau ra bisa mengerahkan penduduk Mekkah dan sekitarnya yang sangat menghormati dan menghargai beliau, karena kewibaannya mengalahkan wibawa para Sahabat lain.
Husain ra juga seorang alim dan ahli ibadah. Para Sahabat sangat mencintai dan menghormatinya. Terlebih belau Ahli Bait.
Jadi Husain ra sama sekali bukan pemberontak.
Oleh karena itu, ketika dalam perjalanannya menuju Irak dan mendengar sepupunya Muslim bin ‘Aqîl dibunuh di Irak, beliau ra berniat untuk kembali ke Mekkah. Akan tetapi, beliau ditahan dan dipaksa oleh penduduk Irak untuk berhadapan dengan pasukan ‘Ubaidullah bin Ziyâd. Akhirnya, beliau Radhiyallahu syahid terbunuh dalam keadaan terzhalimi.
HOAX, KEPALA HUSEIN TIDAK DIARAK
Dijelaskan, betapa banyak riwayat palsu tentang peristiwa ini yang menyatakan bahwa kepala Husain ra diarak sampai diletakkan di depan Yazid bin Muawiyah.
Begitu cerita para wanita dari keluarga Husain ra dibawa keliling ke seluruh negeri dengan kendaaraan tanpa pelana, ditawan dan dirampas, merupakan kepalsuan yang dibuat Rafidhah (Syiah). Karena Yazid saat itu sedang berada di Syam, sementara kejadian memilukan ini berlangsung di Irak.
Syaikhul Islam Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Dalam riwayat dengan sanad yang majhul dinyatakan bahwa peristiwa penusukan ini terjadi di hadapan Yazid, kepala Husain ra dibawa kehadapannya dan dialah yang menusuk-nusuknya gigi Husain ra. Disamping dalam cerita (dusta) ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa cerita ini bohong, maka para Sahabat yang menyaksikan peristiwa penusukan ini tidak berada di Syam, akan tetapi di negeri Irak. Justru sebaliknya, riwayat yang dibawakan oleh beberapa orang menyebutkan bahwa Yazid tidak memerintahkan ‘Ubaidullah untuk membunuh Husain.”
Yazid sangat menyesalkan terjadinya peristiwa menyedihkan itu. Karena Mu’awiyah berpesan agar berbuat baik kepada kerabat Rasulullah Saw.
Maka, saat mendengar kabar bahwa Husain dibunuh, mereka sekeluarga menangis dan melaknat ‘Ubaidullah. Hanya saja dia tidak menghukum dan mengqisas ‘Ubaidullah, sebagai wujud pembelaan terhadap Husain secara tegas.
Jadi memang benar, Husain ra dibunuh dan kepalanya dipenggal, tapi cerita tentang kepalanya diarak, wanita-wanita dinaikkan kendaraan tanpa pelana dan dirampas, semuanya dhaif (lemah). Alangkah banyak riwayat dhaif serta dusta seputar kejadian menyedihkan ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas.
Kemudian juga, kisah pertumpahan darah yang terjadi di Karbala ditulis dan diberi tambahan-tambahan dusta. Tambahan-tambahan dusta ini bertujuan untuk menimbulkan dan memunculkan fitnah perpecahan di tengah kaum muslimin. Sebagian dari kisah-kisah dusta itu bisa kita dapatkan dalam kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Minhâjus Sunnah IV/517 dan 554, 556.
Yazid bin Muawiyah dalam Peristiwa Karbala
Dalam permasalahan ini, Menurut pandangan Ahlussunnah (Muslim Sunni), Yazid bin Muawiyah sama sekali tidak turut campur. Kita mengatakan hal ini bukan untuk membela Yazid tetapi hanya untuk mendudukan permasalahan yang sebenarnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh Husein. Ini adalah kesepakatan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan Ubaidullah bin Ziyad agar mencegah Husein untuk memasuki wilayah Iraq.
Ketika Yazid mendengar syahidnya Husein, Yazid pun terkejut dan menangis. Setelah itu Yazid memuliakan keluarga Husein dan mengamankan anggota keluarga yang tersisa sampai ke daerah mereka.
Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Yazid merendahkan perempuan-perempuan Ahlul Bait lalu membawa mereka ke Syam, ini adalah riwayat yang batil. Bani Umayyah (keluarga Yazid) selalu memuliakan Bani Hasyim (keluarga Rasulullah ﷺ).
Sebelumnya Yazid telah mengirim surat kepada Husein ketika di Mekkah, ternyata saat surat itu tiba Husein telah berangkat menuju Iraq. Surat itu berisikan syair dari Yazid untuk melunakkan hati Husein agar tidak berangkat ke Iraq dan Yazid juga menyatakan kedekatan kekerabatan mereka.
Bibi Yazid, Ummu Habibah adalah istri Rasulullah dan kakek Yazid dan Husein adalah saudara kembar.
Tidak ada riwayat yang shahih yang menyatakan bahwa kepala Husein dikirim kepada Yazid di Syam. Husein wafat di Karbala dan kepalanya didatangkan kepada Ubaidullah bin Ziyad. Tidak diketahui dimana makamnya dan makam kepalanya. Wallahu Ta’ala A’lam.
Tulisan selanjutnya akan dipaparkan riwayat sahih tentang Tragedi Karbala yang menimpa cucu Rasulullah Saw dan keluarganya. Wallahualam bisshowab.