Oleh: Yons Achmad(Praktisi Komunikasi, tinggal di Depok)
Berdaulat.id, Menjadi seorang pensiuntrainer. Istilah ini memang semena-mena saya perkenalkan. Tapi, saya cukup serius mengimplementasikannya. Maksudnya, seorang pensiunan yang menjadi trainer. Sebuah gagasan yang saya ajukan acapkali bertemu dengan para senior yang sudah bekerja dalam bidangnya sekian lama. Baik yang menjelang pensiun maupun yang sudah pensiun. Tafsirnya, tentu tak melulu menjadi trainer. Ia, diusianya yang cukup matang, kemudian menjadi pembicara publik, mengisi seminar, talkshow, narasumber podcast, FGD, training (pelatihan) sekaligus menjadi konsultan.
Memang, istilah yang cukup umum barangkali pensiunpreneur. Layaknya seorang pensiunan, ia tak lagi dipahami sebagai masa istirahat dari pekerjaan. Tetapi, berpetualang kembali menjelajahi peluang-peluang bisnis yang sebelumnya bisa jadi belum sempat terealisasi karena kesibukan urusan pekerjaan utama. Satu hal yang paling umum, para pensiunan kemudian menginvestasikan sebagian hartanya untuk kegiatan usaha (bisnis). Layaknya sebuah bisnis, bisa untung bisa juga rugi.
Sebagai alternatif menjalankan pensiunpreneur, saya coba perkenalkan istilah pensiuntrainer ini. Bagaimana kita mengoptimalkan ilmu, pengalaman, pemikiran serta beragam keterampilan (skills) yang kita miliki untuk dibagikan kepada orang lain. Tentu, sebuah ide bisnis yang menjanjikan. Kenapa? Karena modalnya tak melulu uang sebagai investasi. Tapi, yang utama adalah kekayaan kapasitas diri yang sudah terasah selama bertahun-tahun. Itulah modal utama bagi seorang pensiuntrainer.
Terkait ide ini, saya terinspirasi dari sebuah buku berjudul “The Death of Exspertise” (matinya kepakaran) karya Tom Nichols. Sebuah buku yang menggambarkan bagaimana di dunia maya, terutama media sosial, orang bisa berbicara apa saja. Berkomentar apa saja. Berbagai media, kemudian mengangkat (mengundangnya) berbicara sebagai pakar. Padahal, kapasitasnya bisa jadi sangat jauh. Kenapa hal itu kerap terjadi? Karena media butuh narasumber yang cepat. Yang nongol dan intens bicarakan terkait isu tertentu, itulah yang kemudian menjadi referensi sebagai narasumber. Di sini, media tak bisa disalahkan begitu saja. Karena, entah bagaimana, pakar yang sebenarnya tak pernah nongol dan dapat dijangkau media.
Inspirasi selanjutnya, terkait dengan bagaimana pengetahuan bermakna bagi manusia. Biasanya, dibedakan dalam istilah “Tacit Knowledge” yang berupa pemikiran berdasar pengalaman dan “Explicit Knowledge” yaitu pengetahuan yang sudah didokumentasikan, diantaranya lewat artikel atau buku. Seorang yang expert dibidangnya, pakar dibidangnya, tentu sangat sayang kalau tak dikenal publik. Bisa jadi, kepakaran yang dimilikinya tak punya dampak berarti bagi kehidupan selain dirinya. Dan, pada akhirnya meninggal dan dikubur bersama pengetahuaan (kepakaran) yang dimilikinya. Tentu, sangat sayang kalau hal ini terjadi.
Maka, menjadi pensiuntrainer, dengan varian pengertian yang saya maksudkan di atas, menjadi agenda yang perlu kita kampanyekan terus menerus. Mendorong para senior untuk berbagi ilmu, pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang dimilikinya. Memang, menjadi pekerjaan rumah (PR) yang mesti diselesaikan untuk melangkah ke sana. Apa itu?
Tak lain tak bukan, menulis sebuah buku yang bisa bangun otoritas kepakaran dirinya. Ya, buku adalah bukti paling punya otoritas dibanding yang lainnya. Kesulitan menulis buku? Banyak solusinya. Salah satunya bekerjasama dengan “Ghostwriter”. Selebihnya, baru menjalankan aktivitas “personal branding”. Tak butuh lama, karena buku sebagai bukti otoritas kepakarannya sudah dihadirkan sebelumnya. Begitulah kira-kira seorang pensiuntrainer mengawali kiprahnya. []