Pertaruhan Citra PKSOleh: Yons Achmad Pengamat Komunikasi PolitikDirektur Brandstory Indonesia
Berdaulat.id, Apakah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran dengan menerima misalnya akhirnya kadernya duduk sebagai Menteri? Apakah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga akan berkoalisi dengan barisan “Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus” yang mengusung Ridwan Kamil sebagai calon gubernur Jakarta dan meninggalkan Anies Baswedan?
Pertanyan-pertanyaan ini masih menjadi misteri. Satu yang pasti, ini adalah pertaruhan citra PKS.
Pada pilpres 2024, PKS menempatkan diri sebagai bagian “Angin Perubahan” yang menolak oligarki. Menolak keberlanjutan kekuasaan Jokowi lewat Prabowo dan anaknya Gibran. Oligarki dipandang membahayakan. Oligarki yang menggenggam kekuasaan politik, hanya bakal melahirkan kebijakan yang mengabdi pada akumulasi dan konsentrasi kekayaan untuk kelompok tertentu. Praktiknya, ia hanya melayani kepentingan segelintir orang. Revisi UU KPK, perubahan RUU Minerba, lahirnya UU Cipta Kerja (Omnibus Law) adalah wujud nyata upaya yang menjauhkan kemakmuran rakyat.
Sayang, godaan politik menyelinap. Di Medan, ternyata PKS turut mendukung Bobby Nasution (Mantu Jokowi) sebagai calon gubernur Sumatera Utara (Sumut). Sementara, di Jakarta, rupanya godaan-godaan politik masih terus membayangi, sementara tawaran masuk kekuasaan Prabowo-Gibran dengan iming-iming Menteri tentu sebuah godaan yang begitu menggiurkan. Apakah PKS bakal tergoda? Kita lihat saja.
Satu hal yang pasti, kehadiran Partai Keadilan Sejahtera (PKS) banyak mendapat sambutan kaum kelas menengah terdidik. Apa pasalnya? Karena mereka yakin bahwa PKS bukan sekadar “Partai Biasa” yang penuh pragmatisme (hitung-hitungan politik jangka pendek), tapi sebuah “Partai Dakwah” yang membawa nilai dan idealisme di sana. Bagaimana ketika, nilai-nilai, misalnya “Anti Oligarki” yang selaras dengan aspirasi “Umat” ditinggalkan, justru bergabung dengan gerbong yang dinilai perusak demokrasi, mengangkangi hukum dan etika. Tentu saja, sama saja dengan, selain mengkhianati para pendukungnya, juga punya kontribusi terhadap degradasi sistem demokrasi di Indonesia.
Saya kira, momentum inilah pertaruhan citra (politik) PKS untuk benar dalam menentukan sikap politik. Dalam politik citra, ada yang dinamakan citra yang ingin ditampilkan PKS (The mirror image) dengan citra yang dirasakan oleh konstituen (The current image). Sejauh ini, saya kira masih cukup sejalan dan terjaga. Itu yang membuat PKS tetap punya suara signifikan di dalam parlemen.
Lonjakan terbesar perolehan suara pada Pemilu 2019, PKS mendulang 8,21 persen dengan 11,4 juta suara dengan 50 kursi di DPR. Pada Pemilu 2024 kali ini PKS memperoleh 8,4 persen atau 12.781.353 dengan kuota 53 kursi di parlemen.
Dalam konteks Pilkada Jakarta, sebenarnya upaya PKS bisa mengusung kader sendiri, baik calon gubernur maupun calon wakil gubernur sudah dilakukan. Hal ini sebenarnya sesuai dengan harapan publik. Setidaknya, sesuai hasil penelitian Litbang Kompas yang pernah menyebutkan bahwa, sebanyak 82,9 persen responden menilai partai politik harus memiliki sistem kaderisasi atau model pendidikan diinternal partai. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kapasitas kader partai agar siap ketika ditugaskan untuk berkontestasi di pilkada ataupun pemilihan presiden. Pengalaman selama ini menunjukkan, sosok-sosok yang diajukan dalam kontestasi tak sedikit justru bukan kader dari partai politik tersebut. Sebuah dilema memang.
Semua kemudian kita kembalikan ke PKS. Tapi saya kira, pertaruhan citra PKS kali ini bakal dahsyat dampaknya. Ketika bergabung dengan KIM-Plus saya kira bukan saja sebuah kesalahan politik. Tapi sebuah langkah pengkhianatan yang terang-terangan kepada konstituen sekaligus menyokong dengan kasat mata kekuasaan nir etika, memberi jalan pada kemerosotan demokrasi serta membiarkan negeri ini dikuasai otoritarian. Semua kembali kepada akal sehat keputusan. []