Selasa, Mei 20, 2025
No menu items!
BerandaNasionalRefleksi Enam Bulan Pemerintahan Prabowo: Tantangan Korupsi, Kebebasan Pers, dan Stabilitas Ekonomi

Refleksi Enam Bulan Pemerintahan Prabowo: Tantangan Korupsi, Kebebasan Pers, dan Stabilitas Ekonomi

Luwuk.today, Jakarta – Universitas Paramadina bekerja sama dengan Institut Harkat Negeri menggelar diskusi publik bertajuk “Enam Bulan Pemerintahan Prabowo: The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly” di Universitas Paramadina Kampus Kuningan, Trinity Tower Lt. 45, Jakarta. Diskusi ini menjadi wadah refleksi kritis terhadap kinerja awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pasca-fase “bulan madu” 100 hari pertama.

Arah Kepemimpinan dan Jarak Kekuasaan

Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Risza Idris, menekankan bahwa enam bulan pertama pemerintahan menjadi cerminan arah kepemimpinan, apakah akan melanjutkan kebijakan lama atau membawa pembaruan. “Setiap peralihan kekuasaan membawa harapan, tetapi tantangan selalu ada, terutama saat berhadapan dengan warisan pemerintahan sebelumnya,” ujarnya.

Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri dan mantan Menteri ESDM (2014–2016), menganalisis kepemimpinan nasional melalui konsep Power Distance Index (PDI). Ia menyebut Indonesia memiliki PDI tinggi, sebanding dengan India dan Filipina, yang mencerminkan pola komunikasi top-down dan minimnya ruang dialog. “Masyarakat sulit berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan, sementara elit mendominasi,” katanya. Sudirman menegaskan perlunya menurunkan jarak kekuasaan untuk menciptakan kepemimpinan yang lebih egaliter dan berbasis meritokrasi, guna mencegah nepotisme.

Korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa

Mantan Menko Polhukam (2019–2024), Mahfud MD, mengkritik tajam lemahnya penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Ia menyebut korupsi sebagai extraordinary crime yang kini meluas secara vertikal dan horizontal, mencakup lembaga negara hingga sistem peradilan. “Korupsi telah membentuk jejaring kekuasaan yang kompleks dan berbahaya,” ungkapnya.

Mahfud menyoroti kasus korupsi korporasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, di mana terdakwa yang jelas bersalah sering dibebaskan melalui manipulasi hukum, seperti penggunaan onslag atau vonis ringan. Ia juga mengkritik penanganan kasus “Pagar Laut”, yang hanya menjerat pelaku kecil seperti lurah, sementara aktor utama dari jejaring oligarki tidak tersentuh. “Pemalsuan ratusan sertifikat tanah mustahil terjadi tanpa keterlibatan pejabat tinggi,” tegasnya.

Ia menyinggung lemahnya koordinasi antarpenegak hukum, seperti polemik antara kepolisian dan Kejaksaan Agung dalam kasus “Pagar Laut”. Mahfud mendorong Kejaksaan Agung mengambil alih penyelidikan dan menggunakan mekanisme lintas lembaga, termasuk KPK. Meski mengapresiasi komitmen verbal Presiden Prabowo terhadap pemberantasan korupsi, ia menilai tindakan konkret masih minim, terutama dalam menghadapi oligarki. “Kasus Pertamina dengan korupsi Rp930 triliun mandek karena mafia minyak,” ujarnya.

Tantangan Kebebasan Pers

Direktur Tempo Media Group, Budi Setyarso, menyoroti ancaman terhadap kebebasan pers yang telah berlangsung lama. Ia menyebut penguasa cenderung tidak nyaman dengan pers yang jujur. “Kebebasan pers adalah syarat good governance. Tanpa itu, pengawasan kekuasaan lemah,” katanya, mengenang peristiwa pembredelan media pada era Soeharto (Malari 1974) dan penutupan Tempo pada 1994.

Budi menilai ruang publik untuk kritik semakin menyempit, terutama dengan merapatnya partai politik seperti PDIP ke lingkaran kekuasaan. Ia juga mengkritik degradasi suara oposisi, seperti isu “Taliban KPK” pada 2019. Menurutnya, peran media sebagai pengawas kini krusial, terutama karena pemerintahan saat ini lahir dari proses politik yang dinilai melanggar konstitusi.

Tekanan Ekonomi dan Deindustrialisasi

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, memaparkan tantangan ekonomi yang dihadapi Indonesia, termasuk penurunan fiskal sebesar 16,7% pada kuartal pertama 2025 dibandingkan tahun sebelumnya. “Hilangnya dividen BUMN yang dialihkan ke Lembaga Pengelola Investasi menjadi salah satu penyebab,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pelemahan rupiah terhadap 78% mata uang dunia, meskipun dolar AS melemah secara global. Wijayanto memperingatkan fenomena deindustrialisasi dini dan economic financialization, yang melemahkan sektor riil. Daya beli masyarakat turun, ditambah meningkatnya PHK dan pinjaman online, yang memperburuk kondisi ekonomi.

Faktor eksternal, seperti kebijakan dagang era Donald Trump, turut memengaruhi perekonomian. Namun, Wijayanto menegaskan perlunya konsolidasi kebijakan ekonomi yang terintegrasi untuk menjaga ketahanan nasional.

Kesimpulan

Diskusi ini menggarisbawahi tantangan besar pemerintahan Prabowo, mulai dari jarak kekuasaan yang tinggi, korupsi yang menggurita, ancaman terhadap kebebasan pers, hingga tekanan ekonomi. Para pembicara menyerukan reformasi sistemik, penegakan hukum yang tegas, dan kebijakan ekonomi yang responsif untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih adil dan inklusif.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments