Berdaulat.id, JAKARTA – Perubahan terhadap Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menjadi sorotan utama berbagai kalangan. Webinar bertema “Revisi UU Mahkamah Konstitusi: Bentuk Penyanderaan Hakim Konstitusi?” yang diadakan oleh Universitas Paramadina dan LP3ES pada Minggu (26/5/24) secara daring melalui zoom meeting, membahas isu ini secara mendalam.
Direktur Eksekutif LP3ES, Fahmi Wibawa, menyoroti pentingnya peran dan fungsi MK sebagai penjaga Marwah Konstitusi UUD 1945. Ia menegaskan bahwa hasil revisi harus memperhatikan independensi lembaga dan kinerja para hakim konstitusi.
Dalam webinar tersebut, Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, menyatakan kegelisahannya terkait rencana revisi UU MK. Ia menyinggung reformasi yang dilakukan Presiden Jokowi terhadap undang-undang KPK, dan mengkhawatirkan dampak yang serupa terhadap MK.
Ahmad Khoirul Umam, Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), menyoroti kekuatan MK yang dianggap lebih dominan daripada anggota parlemen. Menurutnya, hal ini menciptakan ketimpangan dalam proses legislasi.
Umam menekankan perlunya pembaruan dalam seleksi dan penempatan hakim MK untuk menghindari intervensi politik. Ia juga mengkritisi beberapa poin perubahan, termasuk usulan adanya hakim ad hoc dan proses seleksi yang transparan.
Mahaarum Kusuma Pertiwi, dosen Universitas Gadjah Mada, mengingatkan bahwa revisi UU MK selama ini penuh kontroversi. Ia menyoroti masa jabatan hakim MK, serta ancaman terhadap hakim yang berbeda pendapat.
Prof. Fitra Arsil dari Universitas Indonesia menyoroti tekanan terhadap legislasi parlemen dari cabang kekuasaan lain, seperti eksekutif. Ia menegaskan perlunya fungsi representasi yang kuat dari parlemen dalam proses legislasi.
Diskusi ini menjadi penting dalam mengawal proses revisi UU MK agar tetap menjaga kemandirian dan integritas MK sebagai lembaga yang kritis dan independen dalam menjaga konstitusi.